Pengalaman yang sama juga ditempuh oleh Mesir. Modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya. Pada 1833, ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar umum, yang dalam perkembangan awalnya hidup berdampingan dengan madrasah dan Kuttâb. Sekolah dasar umum yang segera berkembang di seluruh wilayah Mesir semula dimaksudkan untuk menyiapkan calon-calon siswa sekolah militer, yang juga didirikan Muhammad Ali. Semula isi pendidikannya sebagian besar adalah subyek-subyek Islam, ditambah beberapa mata pelajaran umum. Tetapi, dalam perkembangannya lebih lanjut, penekanan lebih diberikan pada subyek-subyek umum. Dalam waktu yang bersamaan, Muhammad Ali Pasya juga mendirikan sekolah-sekolah umum tingkat lanjutan, yang dikenal dengan nama sekolah al-Tajhiziyah. Sekolah ini terutama mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti berhitung, ilmu ukur, aljabar, dan menggambar, selain juga memberikan beberapa mata pelajaran agama.
Sementara itu, madrasah dan Kuttâb secara umum tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kuttâb hanya menjadi semacam pelengkap bagi sekolah umum, khususnya untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama. Bahkan pada tahun 1868, Khedive Ismail mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah dan kuttâb ke dalam sistem pendidikan umum. Meskipun demikian, upaya ini tidak banyak berhasil; sistem pendidikan madrasah dan kuttâb tetap bertahan dalam masa penjajahan Inggris. Tetapi setelah kemerdekaan, dengan alasan integrasi atau nasionalisasi sistem pendidikan nasional Mesir, pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 menghapuskan sistem madrasah dan kuttâb.
Pengalaman Turki dan Mesir agaknya cukup memadai untuk menggambarkan proses- proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam gelombang modernisasi yang diterapkan para penguasa di masing-masing negara tersebut. Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari medresse di Turki atau madrasah dan kuttâb di Mesir dalam segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut, pada gilirannya membuat pesantren mampu bertahan.
Bersambung…
*Tulisan ini merupakan pengantar dalam buku “Bilik-bilik Pesantren“