Hasil survei oleh lembaga yang sama, LaKIP, pada tahun yang sama pula yaitu akhir tahun 2010 di 10 wilayah Jabodetabek menyebutkan bahwa meskipun ada kecenderungan radikalisme di kalangan siswa sekolah menengah, tetapi tidak terkait dengan kegiatan rohis.
Baca juga: Seberapa Efektifkah Pendidikan Online di Musim Corona?
Kesimpulan tersebut diperoleh dari data bahwa siswa yang mengikuti rohis tidak mencapai 30%, kebanyakan rohis berada di bawah bimbingan guru agama, dan jumlah pengajaran agama kurang dari 24 jam dalam seminggu. Sehingga kemungkinan mendapatkan susupan pengaruh dari luar kecil.
Hasil survei yang dilakukan oleh LaKIP tersebut memang belum menggali faktor apa saja yang berpengaruh dalam membentuk faham keagamaan mereka seperti itu. Serta tidak menampilkan jumlah minoritas itu sebagai penyulut api radikalisme.
Pada tahun 2016 Wahid Foundation dan Kementerian Agama RI melakukan survei terhadap kegiatan rohis di SMA/SMK se-Indonesia dengan melibatkan 1626 responden.
Baca juga: Bagaimana Perkembangan Islamisme di Indonesia Saat Ini?
Temuannya bahwa terdapat 60% aktivis Rohis SMA/SMK di Indonesia yang bersedia jihad ke wilayah-wilayah konflik jika ada kesempatan. Sedangkan 68% dari responden bersedia untuk terjun jihad di masa akan datang. Serta 6% secara terang-terangan mendukung gerakan ISIS.
Survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation dan Kemenag RI tersebut sebenarnya merupakan tindak lanjut dari riset 2015 yang melibatkan 500 siswa di 5 Sekolah Menengah Negeri di Jabodetabek yang lebih mengungkap indikasi-indikasi intoleran.
Temuanya, dari 306 siswa, yang tidak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15%, ragu-ragu 27%.
Sementara mereka yang tidak mau menjenguk teman beda agama yang sakit 3%, ragu-ragu 3%. Temuan pada 2015 ini masih bersifat umum, sehingga yang dapat disimpulkan baru sekedar kecenderungan intoleransi dan radikalisme yang terus menguat. Maka dari itu, riset 2016 yang berkolaborasi dengan Kemenag RI secara spesifik diarahkan pada tema-tema radikalisme dan intoleran.
Kesimpulan tersebut bisa merujuk pada hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2017. Temuannya, terdapat 51,1% responden mahasiswa/siswa beragama Islam yang memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, yang dipersepsikan berbeda dari mayoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Selain itu, 34,3% responden yang sama tercatat memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam. Survei ini juga menunjukkan sebanyak 48,95% responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Lebih gawat lagi, 58,5% responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal. Ada apa ini?