Ia juga mengaitkan sifat toleran dengan kemampuan menerima perbedaan pandangan. Dalam hidup bermasyarakat, pastinya akan sering menemukan sudut pandang yang berbeda dengan apa yang telah masing-masing yakini. Disinilah pentingnya bisa menempatkan diri sebagai mitra yang setara dan bukan merasa benar sendiri.
“Kita dengarkan dulu pandangan orang lain, sepanjang pandangan itu mempunyai data, argumentasi, atau logika. Kemudian kita juga kemukakan pandangan kita sendiri. Kuncinya adalah ta’arafu, saling recognize, saling mengenal. Prinsip recognition ini juga ditekankan dalam Al-Qur’an. Kita akui eksistensi dan konsistensi orang lain jika kita juga mau diakui eksistensi kita. Jika kita ingin berpandangan, berpendapat, dan didengarkan, kita juga harus mau mendengarkan pandangan orang lain. Kita tidak bisa keukeuh dalam hal berpandangan, tidak mau mundur sejengkalpun, tapi kita harus bisa negotiating amongst equals, sama rata sama rasa dalam berpandangan,” ujarnya.
Prof. Andi berpesan tentang pentingnya menjaga kebersamaan sesama anak bangsa. Rasa kebersamaan dapat dibentuk dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Tidak hanya kalangan elitnya saja yang mendapatkan panggung, namun masyarakat juga bisa menyalurkan pendapatnya dengan bebas dan bertanggung jawab.
“Dalam prinsip kebersamaan ada yang disebut dengan konsensus, atau musyawarah mufakat. Hal ini penting kita jadikan pegangan, bahwa kita dapat duduk bersama, ada hasil rapat yang kita sepakati, dan semua orang harus diberikan kesempatan untuk berpendapat. Jangan kemudian hanya tokohnya itu saja yang bicara tapi tidak mau mendengarkan pandangan anggota masyarakatnya,” terangnya.
Sebagai penutup, Prof. Andi mencontohkan seperti Rasulullah selalu mendengarkan masukan dari para sahabatnya. Walaupun Rasulullah memiliki kedudukan tertinggi di kota Madinah, namun ia tetap memberikan ruang bicara bagi rakyatnya yang ingin menyampaikan gagasannya.
“Rasulullah ketika dulu mau perang seringkali minta pandangan sahabatnya, seperti Salman Al-Farisi, Umar bin Khattab, Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan yang lainnya. Padahal Rasulullah sendiri sudah dituntun oleh wahyu ilahi, tapi masih mau mendengarkan pandangan para sahabatnya. Pernah suatu ketika salah satu sahabatnya bertanya, “apakah ini wahyu Rasulullah?” Kalau Rasulullah bilang bukan wahyu, maka sahabat itu akan memberikan pandangannya. Seperti itulah Rasulullah sudah mengajarkan kita tentang musyawarah, dan itu juga termasuk dalam nilai-nilai Pancasila,” pungkas Prof. Andi.