Kemerdekaan Indonesia diraih melalui perjuangan. Para pendiri bangsa enggan menerima tawaran kemerdekaan dari Jepang. Ia memilih berjuang melawan penjajah. Pesannya jelas: kemerdekaan seutuhnya, tanpa perlu berbalas budi kepada pihak lain.
Salah satu komponen penting dalam kemerdekaan Indonesia adalah santri. Tak hanya pada proses menuju 17 Agustus 1945, tetapi juga di saat penjajah datang kembali setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Menghadapi serangan sekutu yang sangat dahsyat kepada negara Indonesia yang telah merdeka, KH. Hasyim As’ary menyatakan fardhu ‘ain bagi setiap muslim untuk turun melawan penjajah. Fatwa inilah yang menjadi dasar bagi Arek-Arek Suroboyo dan sekitarnya untuk melakukan pertempuran melawan Sekutu. Semula Bung Tomo berencana untuk melakukan penyerbuan kepada Sekutu pada tanggal 9 November. Namun, Kiai Hasyim As’ary meminta untuk menundanya. Alasannya, karena Kiai Abbas Abdul Jamil yang dikenal sebagai Singa dari Jawa Barat belum sampai ke Surabaya.
Setibanya di Surabaya, Kiai Abbas dan Bung Tomo bersepakat untuk melakukan penyerbuan terhadap penjajah. Dengan teriakan Takbir, Allahu Akbar, Kiai Abbas dan Bung Tomo bersama arek-arek Suroboyo dan sekitarnya melawan Sekutu NICA. Pekikan takbir Allahu Akbar bukan untuk menyerang sesama anak bangsa, bukan pula untuk menebar kebencian. Tetapi, untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah. Akibatnya, pemimpin NICA, Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby tewas di tangan santri Tebuireng bernama Harun, yang selanjutnya melahirkan pertempuran 10 November 1945.