Bulan Ramadan adalah bulan penuh ampunan. Ramadan juga sarat dengan perjuangan umat Islam dalam menggapai kesempurnaan. Melalui ibadah puasa, bulan Ramadan seolah menjadi tonggak pergulatan diri dalam mengendalikan nafsu insani.
Perjuangan umat Islam di bulan Ramadan adalah hal yang selalu ditemukan tiap tahunnya, namun nyatanya itu bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, tantangan mengendalikan nafsu yang banyak ragamnya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.
Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia, Dr. KH. Ali M. Abdillah, MA., menjelaskan bahwa bulan Ramadan dapat dianggap sebagai bulan jihad karena dalam setiap manusia, ada nafsu yang harus dikendalikan. Nafsu sendiri terbagi menjadi dua, ada yang disebut dengan amaroh dan yang disebut dengan lawwamah. Dua hawa nafsu ini selalu mengajak insan untuk berpaling dari Allah dan membuat kerusakan di muka bumi.
“Contoh hawa nafsu lawwamah itu nafsu yang digerakkan oleh iblis. Iblis masuk ke dalam diri manusia melalui aliran darah, sebagaimana hadits assyaithon yajri majroddam. Ketika aliran darah banyak bersumber dari makanan haram, maka hal itu paling cepat memproduksi setan atau iblis dalam diri manusia. Bisa dilihat, orang yang banyak memakan barang yang haram, pasti muncul perilaku yang destruktif atau merusak. Seolah-olah dia tidak memiliki sifat kemanusiaan, seperti raja tega. Ini sesungguhnya adalah sifat hayawanat atau sifat kebinatangan,” jelas pria yang kerap disapa Kyai Ali di Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Pengasuh Pondok Pesantren al Rabbani Islamic College Cikeas ini menjelaskan jika dalam teori tasawuf ada yang disebut dengan nafsu sabu’iyah atau nafsu binatang liar. Selayaknya binatang liar yang berkelahi, kalau lawannya tidak mati, pasti akan dihabisi sampai tinggal tulang belulang.
Inilah kekejian binatang liar. Ketika didominasi oleh nafsu amaroh dengan karakter sabuiyah yang dominan, pasti muncul sifat karakter rakus, kemudian raja tega, menghalalkan segala cara, dan juga dia akan semena-mena. Kemudian amaroh juga punya karakter bahimiyah atau binatang ternak.
Menurut Kyai Ali, manusia dengan karakter bahimiyah memiliki orientasi hidup hanya untuk mencari makan, kemudian menuruti hawa nafsu biologisnya. Ini bisa dilihat binatang ternak yang polanya seperti itu. Karakter bahimiyah orientasi hidupnya hanya bekerja dari pagi sampai malam, kemudian melupakan ibadah, lalu setelah dapat uang untuk foya-foya dan mengikuti hawa nafsu.
“Puasa harus memiliki dampak yang positif untuk menurunkan tensi penguasaan nafsu pada diri manusia. Cara yang paling efektif untuk menundukkan nafsu amaroh baik yang sabuiyah maupun bahimiyah, yaitu dengan cara lapar. Lapar ini sebagai akar untuk bisa memutus mata rantai terjadinya dominasi nafsu amaroh,” imbuh Kyai Ali.