Setiap orang yang terbuka pemikirannya sudah tentu akan terus memperbaiki dirinya dari waktu ke waktu. Telah menjadi ketentuan Tuhan bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Segala bentuk kekurangan yang telah disadari sepatutnya menjadi dorongan perbaikan di kemudian hari.
Datangnya Ramadan merupakan berkah bagi manusia. Kali ini, Ramadan juga dibarengi dengan perayaan Nyepi dan Jumat Agung. Hal ini seolah jadi pertanda bahwa tiap umat yang merayakan hari besarnya selayaknya bisa terus berdampingan.
Wakil Sekjen PB-DDI (Darud Dakwah Wal Irsyad) Pusat, Dr. Suaib Tahir, Lc., MA. menjelaskan bahwa bulan Suci Ramadan ini adalah bulan di mana Alquran diturunkan. Alquran ini adalah petunjuk bagi semua orang. Sejatinya, setiap orang itu harus banyak mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalam Alquran itu sendiri.
“Karena apapun yang kita kerjakan di bulan suci ini memiliki pahala yang sangat besar. Pada bulan Ramadan inilah merupakan kesempatan yang paling baik bagi setiap orang untuk melakukan perbaikan yang semestinya dilakukan. Misalkan ada kebiasaan tidak baik yang kita lakukan di bulan lain, maka selayaknya hal tersebut mulai ditinggalkan di Ramadan ini,” ujarnya.
Dirinya menyampaikan, apabila suka menggunjing, menceritakan keburukan teman, malas bekerja, kikir, tidak suka bersedekah, dan sifat buruk lainnya, maka sebaiknya di bulan Ramadan ini mulai belajar untuk meninggalkan semua itu.
Peraih gelar doktoral dari Universitas Islam Omdurman Sudan ini menceritakan, kedewasaan bersikap sebagai seorang muslim, khususnya di Indonesia, agaknya perlu ditinjau kembali. Ia mencontohkan bahwa di beberapa negara lain yang mayoritas beragama Islam, sikap toleransi yang bisa ditemui jauh lebih tinggi dari apa disaksikan di Indonesia.
“Di beberapa negara juga misalkan orang berpuasa di bulan Suci Ramadan biasa saja. Di Mesir ketika saya berkuliah di Al-Azhar misalkan, penjual jus itu di depan Al-Azhar banyak, penjual makanan juga ada. Artinya hal itu adalah sesuatu yang biasa saja. Karena yang tinggal di Mesir bukan saja orang Islam, ada orang non-Muslim, ada orang yang mungkin memang lagi tidak berpuasa karena haid. Ada juga mungkin yang tidak berpuasa karena sakit. Bisa saja dia dilarang oleh dokter berpuasa karena ada penyakit yang diidap, tetapi dia harus keluar dan cari makan,” imbuhnya.
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta ini menambahkan, umat Islam harus berpikir positif melihat fenomena yang ada. Jangan karena melihat orang tidak berpuasa, lalu dengan mudahnya melempar vonis kafir, pembangkang, dan sebagainya, karena situasi orang berbeda-beda. Jangan selalu mengukur orang lain dengan diri sendiri.