“Sebenarnya, dalam perihal regulasi secara struktur dari pemerintahan Republik Indonesia sudah begitu jelas. Kuasa penuh sudah diartikelkan dalam Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan.”
Gerakan Islam Radikal menjadi salah satu pemicu dari terongrongnya ideologi kesatuan dan persatuan Indonesia. Gerakan ini senantiasa tidak ada hentinya untuk terus bergerak meski banyak rintangan yang harus dilewatinya. Mereka belum puas dalam menerima adanya Pancasila sebagai ideologi bersama di negeri ini. Pemahaman terhadap Islam sendiri mereka sekadar luaran saja dan seringkali menimbulkan konflik ketika menemui kelompok Islam yang tidak sejalan dengannya.
Harusnya dengan keberagaman umat Islam di Indonesia menjadikan Muslim Indonesia semakin kokoh dalam menjalin kesehariannya sebagai Muslim yang harmonis. Berbeda bendera, kelompok hingga mazhab jangan menjadi salah satu penyebab terjadinya perpecahan sebagai Muslim Indonesia. Sejatinya setiap bangsa memiliki keanekaragaman budaya dan sosialnya sendiri dalam menjembatani antara dirinya dengan Tuhannya untuk beragama, termasuk berpakaian dan pemikiran.
Budaya berbusana seringkali menjadi rujukan terjadinya konflik di antara Muslim Indonesia. Yang sudah jelas-jelas berbeda dengan bangsa Arab, kenapa harus menodong keras sebagai Muslim Jawa, Osing, Madura, Banjar dan lainnya untuk sama dengan Arab, tentu tidak. Bangsa ini telah memiliki kebudayaan yang sudah tumbuh dan berkembang subur, kenapa harus dilawan, senyampang tidak bertentangan dengan Islam, iya kan? Kenapa harus dipersoal, hanya perihal blangkon, jarik (pakaian Jawa untuk sarung), baju batik dan nuansa khas Indonesiais seringkali tersudut pada penilaian yang negatif.
Bertolak dari perihal busana, kemudian menciptakan pemikiran mereka hingga membentuk gerakan untuk melawan keragaman tradisi yang ada di negara ini. Dari gerakan ini, mereka menyatakan bahwa Islam butuh pembaharuan, Islam harus kembali pada al-Quran dan Sunnah dan Islam harus tegak sebagai sistem negara di Indonesia. Karena mereka melihat Indonesia dengan seisinya sebagai negara thaghut. Ini kan masalah, sehingga dari peristilahan itu yang membuat segelincir kelompok Muslim yang memiliki pemikiran radikal negatif tersebut selalu menginginkan gerakan-gerakan untuk membentuk negara bernuansa syariah, dan itu ranah gerakan bukan lagi pada arus sosial keagamaan, tapi politik.
Tentu gerakan-gerakan yang mereka inisiasikan bukan sebuah gerakan yang main-main. Misalnya FPI, HTI, MMI, yang baru-baru ini muncul di permukaan ada Khilafatul Muslimin. Sebuah gerakan radikal yang berdiri di Lampung pada 18 Juli 1997 oleh Abdul Qadir Hasan Baraja yang juga memiliki sambung kerabat dengan Abu Bakar Ba’asyir, Solo.
Kemunculan gerakan-gerakan Islam ini sangat memprihatinkan bagi goyahnya ideologi Pancasila. Asghar telah menjelaskan bahwa dalam mendirikan negara Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur sebuah negara, apalagi Indonesia memiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Menurutnya, dengan adanya Muslim yang mengamalkan Islam dalam keseharian, Muslim cinta Al-Quran dan mengamalkannya itu sudah cukup disebut sebagai negara Muslim (negerinya orang Islam).
Artinya, al-Quran menjadi pedoman dalam mempraktikan serangkaian nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sejatinya, Muslim Indonesia sudah cukup menikmati dan bangga sebagai bangsa Indonesia yang memiliki serangkaian undang-undang atau peraturan yang memiliki nuansa keagamaan. Itu semua memperhatikan hati dan perasaan agama lain yang tinggal di bumi pertiwi ini sebagai satu kesatuan warga Indonesia.