Kedua, hakikat kesyirikan, yaitu “kau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu,” sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Saw., di antaranya meminta pertolongan dan meminta perlindungan kepada selain Allah, juga menyembelih, bersumpah, dan berhukum demi selain Allah. Ishaq ibn Abdirrahman berkata, “Berdoa kepada para penghuni kuburan, memohon kepada mereka, dan meminta pertolongan kepada mereka, tidak ada perbedaan di kalangan umat Muslim melainkan semuanya sepakat bahwa itu adalah kesyirikan.” Ia juga berkata, “Bagaimana umat Muslim dilarang mengkafirkan orang yang berdoa kepada orang-orang saleh dan meminta pertolongan mereka di sisi Allah serta melakukan perbuatan-perbuatan peribadatan yang tidak selayaknya dilakukan melainkan kepada Allah, ini adalah batil berdasarkan teks al-Qur`an, Sunnah, dan kesepakatan umat.” Sulaiman ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdil Wahab berkata, “Para mufassir bersepakat bahwa ketaatan dalam menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah termasuk ibadah kepada semua itu dan merupakan kesyirikan dalam ketaatan.” Dijelaskan juga bahwa para ulama sepakat bahwa mengingkari dan mengkafirkan thaghut adalah tauhid yang benar.
Ketiga, tauhid dan kesyirikan adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak pernah menyatu. Artinya, orang yang melakukan suatu kesyirikan tidak bisa disebutnya orang yang bertauhid, meskipun ia bodoh, atau bahkan meskipun ia dari kalangan ahlul fatrah (orang-orang yang tak pernah mendapatkan dakwah Islam namun tak memiliki sifat buruk: orang yang menghiraukan ajaran Islam pada masa hidupnya, baik karena isolasi geografi, atau hidup sebelum masa Nabi). Allah Swt. berfirman, “Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan di antara kamu [juga] ada yang mukmin,” [QS. al-Taghabun: 2]. Ibn Taimiyah berkata, “Dan untuk alasan ini, orang yang tidak menyembah Allah pasti ia menyembah kepada selain-Nya, dan orang yang menyembah kepada selain-Nya adalah musyrik. Di antara anak-anak Adam (manusia) tidak ada golongan ketiga, yang ada hanya golongan tauhid dan golongan musyrik.” Abdurrahman berkata, “Orang yang melakukan kesyirikan, maka ia telah meninggalkan tauhid. Keduanya (tauhid dan kesyirikan) adalah dua hal yang saling berlawanan dan tidak akan pernah berkumpul, saling bertentangan dan tidak akan pernah menyatu.”
Pandangan Ali ibn Al-Khudhair yang diadopsi ISIS
Dengan sangat jelas, Ali ibn al-Khudhair mengkafirkan golongan Asy’ariyah yang dianggapnya sebagai ahli bid’ah karena menyembah kuburan. Selain itu, yang tidak kalah menarik, di dalam buku ini Ali ibn al-Khudhair menyinggung soal demokrasi. Menurutnya, demokrasi adalah salah satu contoh thaghut yang harus diingkari oleh setiap orang yang mendaku dirinya muslim bertauhid. Bagaimana mengingkari demokrasi? Pertama, meyakini kebatilannya; kedua, meninggalkannya, yaitu dengan tidak menjadi anggota parlemen dan dewan legislatif di negara-negara demokratis kafir; ketiga, membencinya; keempat, membenci orang-orang yang meyakini kebenaran demokrasi, dan; kelima, mengkafirkan orang-orang yang meyakini kebenaran demokrasi.
Dari sini bisa dipahami mengapa ISIS dalam banyak aksi-aksi terornya di antaranya mengambil pembenaran dari berbagai pendapat Ali ibn al-Khudhair di dalam karya-karyanya, di samping sejumlah ulama Arab Saudi lainnya seperti Khalid al-Rasyid, Nasir al-Fahd, Sulaiman ibn Nashir al-Alwan, Umar ibn Ahmad al-Hazmi, Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, dan seterusnya.
ISIS mengandalkan tulisan para ulama yang mendukung posisinya dalam berperang melawan orang-orang yang dianggap muslim tetapi hanya sebatas nama saja alias “muslim KTP”. Para ulama ini menganut seperangkat gagasan yang sangat berbeda dari pandangan umum umat Muslim. Biasanya, ISIS menggunakan pandangan-pandangan mereka untuk membenarkan pengkafiran terhadap negara Arab Saudi dan para penguasa Muslim di seluruh Timur Tengah, serta mendukung penolakan terhadap semua kekuatan dan institusi resmi di negara-negara tersebut. Karena permusuhan antara ISIS dan banyak tokoh agama, para pengamat sering mengabaikan pengaruh para ulama itu terhadap ISIS.
Kita lihat, empat ulama dari Arab Saudi, yaitu Nasir al-Fahd, Sulaiman ibn Nashir al-Alwan, Umar ibn Ahmad al-Hazmi, Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, dan Ali ibn al-Khudhair adalah bagian dari jaringan ulama yang memberikan pengaruh besar terhadap Al-Qaeda di Arab Saudi pada awal tahun 2000-an, juga gerakan-gerakan jihadis transnasional. Mereka banyak menulis tentang “kemurtadan” Arab Saudi karena membantu Amerika Serikat dalam intervensi-intervensi regionalnya, terutama selama Perang Teluk I. Bagi ISIS, tulisan-tulisan mereka memberikan dasar fikih untuk kampanye melawan orang-orang murtad. Dan merupakan hal yang berguna bagi ISIS bahwa para ulama itu sangat terlatih di dalam fikih dan pendidikan agama (hal yang sangat jarang dimiliki oleh para ideolog jihadis) dan bahwa mereka berseberangan dengan lembaga-lembaga keagamaan di Arab Saudi. Nasir al-Fahd dikabarkan telah bersumpah setia kepada ISIS, dan organisasi tersebut mengadopsi pandangan Hammoud ibn Aqla al-Syuaibi yang menyatakan bahwa tidak boleh meminta bantuan dari orang-orang kafir.
Pandangan Ali ibn al-Khudhair diadopsi secara luas di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS. Secara khusus Ali ibn al-Khudhair memberikan pandangan yang komprehensif tentang salah satu aspek paling khas dari ideologi ISIS. Ia, misalnya, menyatakan bahwa sistem-sistem non-Islam dan para penganutnya tidak sesuai syariat, sehingga kepatuhan terhadap ajaran mereka benar-benar tidak bisa dimaafkan. Hal ini terlihat sangat jelas dalam pendiriannya mengenai sistem legislatif modern dan umat Muslim yang terlibat di dalamnya. Menurutnya, seorang muslim yang secara sukarela bergabung di dalam parlemen adalah kafir, seorang muslim yang bersumpah setia kepada konstitusi negara demokrasi—bahkan meskipun ia dipaksa untuk melakukannya—adalah murtad, dan seorang muslim yang menentang konstitusi negara demokrasi melalui sarana-sarana demokrasi adalah pendosa.[]