Ramai desakan yang mengatasnamakan masyarakat dalam perizinan pembangunan ibadah umat Non-Muslim, adalah salah satu masalah yang belum terselesaikan di Indonesia. Alih-alih sebagai negara bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, tetapi persoalan hak warga negara belum tuntas. Lalu apa jadinya jika masalah ini belum selesai?
Di usia yang tak lagi muda, Indonesia tampil menjadi negara dengan mayoritas umat Muslim terbanyak. Merujuk data dari World Population Review, sekitar 231 juta orang adalah penduduk beragama Islam. Sedangkan data dari Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, ada sekitar 236,53 juta jiwa (86,88%) pemeluk agama Islam. Artinya, Indonesia sudah menjadi bagian dari negara umat khususnya Islam.
Indonesia juga menganut falsafah atau ideologi Pancasila. Yang mana nilai-nilai Pancasila itu sendiri sudah islami. Mulai dari sila pertama sampai sila kelima. Falsafah ini yang dipegang teguh oleh masyarakat kita pada umumnya.
Kondisi berbeda ketika melihat saudara-saudara Non-Muslim di Indonesia. Beberapa contoh kasus di berbagai wilayah, menunjukkan adanya sikap intoleransi, intervensi, dan kebencian yang membuat sekat kemanusiaan.
Masih banyak dari warga Indonesia membatasi hak dalam pembangunan rumah ibadah Non-Muslim. Mulai dari intervensi secara personal, aksi penolakan, bahkan sampai berujung perusakan. Kondisi ini sangat terbalik dari substansi “Pancasila”. Persoalan ini, hampir semua belum tuntas dan umat Non-Muslim juga tidak merasa nyaman dalam beragama.
Fakta di Indonesia, dalam pemahaman umat Muslim sendiri, sebagian masih “aneh” jika mereka hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Paradigma konservatisme agama sangat kuat di kalangan umat Muslim Indonesia. Hal ini yang membuat kaku dan terlihat egosentris.
Nabi Izinkan Umat Nasrani Kebaktian di Masjid
Soal keberagaman, umat Muslim harusnya tahu bagaimana dahulu Nabi Muhammad SAW, menghormati umat agama lain. Sangat banyak bukti-bukti yang dipersembahkan sejarah bahwa Islam adalah agama toleransi. Baik terhadap sesama Muslim maupun terhadap seluruh umat manusia (tanpa mengenal agama dan kepercayaan).
Contoh seperti kisah orang-orang Nasrani Najran. Pada tahun 10 Hijriah, ketika Nabi SAW berhasil memasuki kota Madinah dengan damai, berduyunlah orang-orang memeluk agama Islam. Tak hanya dari dalam Madinah, dari luar wilayah juga turut memeluk Islam. Salah satu dari rombongan luar kota itu adalah orang-orang Nasrani yang berasal dari Najran — Najran adalah wilayah yang terletak pada barat daya Arab Saudi dan berbatasan dengan Yaman — dan mereka diterima oleh Nabi SAW.
Rombongan umat Nasrani dari Najran tersebut sebanyak 60 orang. Dipimpin langsung oleh uskup mereka, Nabi SAW. menyambut dengan senang hati dan dipersilahkan masuk masjid. Tujuan mereka adalah berdialog dengan Rasulullah SAW perihal akidah.
Memang akidah antara umat Muslim dan Nasrani berbeda. Akan tetapi, perbedaan ini bukan untuk menjelaskan bahwa berbeda berarti bermusuhan. Saat waktu ibadah mereka tiba, mereka memohon izin untuk melaksanakan ibadah kebaktian di dalam masjid. Kemudian, Nabi SAW. membolehkan rombongan Nasrani Najran tersebut untuk kebaktian dalam masjid.
Sketsa yang dilakukan oleh Nabi SAW kepada umat Nasrani Najran di atas merupakan sedikit teladan bagi umat Muslim. Nabi saja tidak melarang ibadah Non-Muslim, justru menunjukkan bahwa Islam itu agama yang sangat toleran.
Hubungan Muslim dan Nasrani Najran sangatlah cair tanpa permusuhan. Bahkan Nabi SAW. membuat perjanjian tentang hubungan Islam-Nasrani. Diriwayatkan dari Abu Daud, berikut kutipan sedikit dari isi perjanjian tersebut: