Umat Muslim pada umumnya menuntut adanya bukti-bukti tambahan untuk menganggap seorang Muslim sebagai kafir, seperti pernyataan tegas “musyrik” atau “kafir”. Tetapi kaum Khawarij tidak sependapat dengan itu. Menurut mereka, seorang muslim yang melakukan dosa besar bisa langsung menjadi kafir tanpa perlu bukti-bukti tambahan. Umumnya umat Muslim menganggap bahwa iman bertambah dan berkurang karena perbuatan, sedangkan kaum Khawarij percaya bahwa iman tidak berfluktuasi, tidak bertambah atau berkurang, melainkan tetap atau hilang selamanya, dan orang yang imannya hilang adalah kafir.
Kelompok lain, Murji`ah, tidak sependapat dengan kaum Khawarij. Mereka memandang bahwa hukum itu hanya diputuskan oleh Allah semata, dan keputusan itu “ditunda” sampai Hari Kiamat. Dalam artian, menunggu penghakiman Allah atas umat Muslim pada Hari Kiamat. Konsep “penundaan” keputusan hukum atas “orang murtad” didasarkan kepada al-Qur`an sendiri, tepatnya QS. al-Taubah: 106, yang membuat kelompok ini tidak memihak dalam konflik apa pun.
Bagi kelompok Murji`ah, iman hanya terdiri dari iman yang bersemayam di dalam hati dan menegaskannya melalui lisan, bukan melalui tindakan nyata. Oleh karena itu, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat untuk menentukan apakah ia mukmin atau kafir. Bagi kelompok ini, dosa besar tidak dapat mengeluarkan seseorang dari Islam, kecuali jika menegaskan secara lisan mengenai kekafirannya. Tidak seperti Khawarij, para ulama Murji`ah menganggap bahwa iman tidak berubah karena perbuatan maksiat, sehingga mereka tidak menghubungkan perbuatan dengan iman.
Penggunaan Doktrin Takfir untuk Membenarkan Agenda Jihadis Islam
Perdebatan mengenai “takfir” terus berlanjut hingga saat ini. Hal ini dimanfaatkan oleh sejumlah organisasi Islamis dan kelompok teroris untuk membenarkan tujuan jihad mereka dan serangan terhadap sesama Muslim yang dianggap sebagai orang kafir pelaku dosa, termasuk para penguasa. Berdasarkan catatan sejarah perdebatan mengenai konsep takfir ini, organisasi jihadis memandang para pembangkang sebagai musuh Islam sejati, orang-orang mukmin, dan seluruh umat, karenanya jihad atas mereka dibenarkan. Faktanya, organisasi-organisasi jihad mempertahankan sikap ini dengan cara memanipulasi banyak ayat al-Qur`an dan hadits Nabi.
Sayangnya, banyak orang menerima manipulasi tersebut sebagai kebenaran hakiki, yang membuat mereka merangkul “jihad” di bawah tekanan propaganda teroris yang menjanjikan keselamatan dan surga, melalui “jalan yang benar” dari “Islam sejati”. Oleh sebab itu, sangat penting memahami takfir secara historis dan mengetahui bagaimana istilah itu digunakan oleh kelompok-kelompok jihadis, bukan saja untuk mencegah ekstremisme, tetapi juga untuk memahami pembenaran atas aksi-aksi intoleran, kekerasan, dan pertumpahan darah yang dianut oleh kelompok-kelompok ini.[]