Telah dicabutnya status badan hukum bagi ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) oleh Kemenkumham pada 19 Juli 2017, ternyata tidak cukup efektif membendung pergerakan kelompok radikal ini. Walaupun perkara hukumnya sudah diputuskan, nyatanya ideologi HTI yang mendorong adanya pendirian negara Islam masih dengan mudah ditemukan di ruang publik.
Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta, Dr. Amir Mahmud, M.Ag., menjelaskan bahwa eksistensi HTI belum sepenuhnya hilang. Alasannya, selain karena pemikiran dan cita-cita khilafah yang sudah mengakar, tersedianya internet dan media sosial menjadi ladang subur bagi pergerakan HTI.
Ia mengungkapkan bahwa beda halnya dengan keputusan hukum yang sifatnya konkret, militansi kader HTI yang terbentuk dari ideologinya sangat sulit untuk dihilangkan. Pemikiran inilah yang mampu bertahan walaupun penggagas awalnya sudah lebih dulu tutup usia. Ideologi tidak sama dengan manusia, ia tidak bisa dihalangi oleh tempat atau waktu, dan karena itu ideologi memiliki resistensi tinggi untuk mempertahankan kehadirannya, serta mampu menyebar dari seseorang ke yang lainnya.
“Ideologi khilafah digelorakan oleh HTI, seolah mampu menjawab persoalan yang ada di Indonesia. Sama dengan ideologi lain pada umumnya, khilafah secara pemikiran tidak akan bisa benar-benar hilang. Taqiyuddin An-Nabhani sebagai penggagas ideologi ini memang sudah wafat, tapi pemikirannya masih bisa kita temukan dan bahkan mampu mempengaruhi generasi muda Indonesia,” ujar Dr. Amir di Solo, Jumat (5/7/2024).
Menurutnya, HTI sebagai suatu pergerakan juga memiliki proses penggalangan atau pendekatan terhadap lapisan masyarakat tertentu, khususnya generasi muda. Ini dilakukan untuk memastikan ideologi khilafah akan terus bertahan walau zaman berganti. Proses penggalangan ini biasanya diawali dengan mengemukakan narasi yang sedang trending sesuai dengan waktunya.
Misalnya saja, ketika nilai tukar rupiah menurun, HTI dan jaringannya akan melempar propaganda bahwa Indonesia gagal secara ekonomi. Ujungnya pun sudah bisa ditebak, mereka akan “menjual” khilafah sebagai solusi universal seluruh permasalahan Indonesia. Simplifikasi ini hanyalah gambaran semata, yang suka atau tidak, ternyata efektif menarik animo sebagian masyarakat untuk bergabung dengan perjuangan HTI.
“Mereka (HTI) memiliki konsep ‘tafa’ul ma’al ummah’ yang berarti ‘mendekatkan diri pada masyarakat.’ Bahan interaksinya pun sebenarnya bisa dengan mudah kita temukan di internet. Mereka akan menyoroti citra atau isu negatif Pemerintah Indonesia, lalu mengemasnya sebagai salah satu alasan kenapa sistem khilafah diperlukan,” jelas Dr. Amir.
Dirinya juga menyebutkan, organisasi terlarang seperti HTI dan FPI (Front Pembela Islam), sudah biasa berganti nama sebagai upaya untuk menghilangkan jejak. Walaupun demikian, jaringan teror seperti ini sebenarnya punya lingkaran pergaulan yang bisa dilacak. Bergantinya nama atau terpecahnya organisasi radikal seringkali tidak dibarengi dengan rotasi kader yang baik, sehingga nama-nama lama kembali muncul di organisasi yang baru.
Dr. Amir yang juga sebagai Direktur Amir Mahmud Center ini mengatakan, kelompok radikal telah banyak belajar dari kegagalan mereka diterima oleh masyarakat luas. Maka dari itu, pola pendekatan para kelompok dengan ideologi transnasional menjadi lebih humanis dan terlihat bersahabat dengan warga. Contohnya adalah kelompok JI (Jamaah Islamiyah) yang beberapa tahun belakangan mulai dengan lihai membaur dengan lingkungan tinggalnya.
“Kelompok JI bisa masih aktif dan eksis di tengah masyarakat karena mulai menghaluskan pendekatannya. Mereka mulai mengadakan santunan terhadap warga sekitar, serta mengikuti kegiatan kerja bakti yang rutin dilakukan di beberapa wilayah. Sekilas, apa yang mereka lakukan ini adalah hal yang baik, namun perlu diingat bahwa perbuatan ini didasarkan pada ideologi mereka yang sudah mengakar dan kebutuhan akan eksistensi dari ideologi itu sendiri,” terangnya.
Dr. Amir Mahmud berharap Indonesia bisa tetap kuat dari berbagai upaya destabilisasi yang gencar dilakukan, khususnya dari kelompok dan jaringan teror. Umat Islam di Indonesia sudah sepatutnya bersyukur karena bisa dinaungi oleh Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara dan umat beragama.
“Marilah kita mempertaruhkan dan memperkuat jiwa kita terhadap NKRI ini. Harapannya, akan muncul kedamaian serta ketenangan yang kita harapkan sebagai rakyat Indonesia. Dunia internasional sebenarnya sudah menjadikan Indonesia sebagai role model kehidupan masyarakat dengan beraneka latar belakang. Jangan sampai NKRI ini diobok-obok, dirusak oleh para pendatang yang seringkali mengglorifikasi simbol keagamaan, nasab, dan sebagainya. Negara Indonesia bukan milik suatu kaum saja, tapi milik seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yang setia pada konsensus bernegara,” pungkasnya.