Fenomena sound horeg yang merebak di berbagai daerah di Jawa Timur, terutama di kawasan pedesaan, telah menjadi perbincangan publik dan bahkan kontroversi keagamaan. Beberapa waktu yang lalu, forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Besuk Pasuruan mengeluarkan fatwa bahwa sound horeg haram karena dinilai memicu maksiat dan mengganggu ketertiban masyarakat.
Atas fatwa tersebut MUI Jawa Timur melalui Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin memberikan dukungan atas pelarangan sound horeg. Kini, MUI Jawa Timur telah membulatkan suara resmi dengan mengharamkan sound horeg dengan beberapa catatan. Begitu pula, MUI Pusat juga mendukung fatwa pengharaman ini.
Fenomena ini cukup menarik dilihat dari bagaimana respon agamawan terhadap problem kekinian yang dihadapi umat. Namun, tentu saja kita juga perlu memahami persoalan ini dengan kacamata yang lebih beragam yang tidak hanya hitam-putih dalam menyelesaikan persoalan. Pendekatan sosiologis dan antropologis berguna untuk memahami fenomena baru ini agar dapat memberikan solusi yang tidak sekedar menghakimi, tetapi mengarifi.
Sound Horeg sebagai Ekspresi Subkultur dan Identitas Sosial
Dalam perspektif sosiologi budaya, sound horeg dapat dipahami sebagai bentuk subkultur, yakni ekspresi gaya hidup kelompok tertentu yang menyimpang dari norma arus utama (mainstream). Dick Hebdige mlihat subkultur adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap struktur sosial dominan. Gaya musik keras, sound system raksasa, hingga konvoi motor dengan lampu kelap-kelip, adalah bentuk estetika subversif yang mengklaim ruang eksistensi. Layaknya, gaya-gaya subkultur yang pernah diteliti Dick di Inggris seperti komunitas Teddy Boys, Punk, Rastafarians dan sebagainya.
Anak muda pedesaan, yang sering kali terpinggirkan dari akses sosial dan budaya kota, menggunakan sound horeg sebagai sarana ekspresi dan eksistensi. Di sinilah sound horeg tidak sekadar musik, melainkan simbol perlawanan diam terhadap struktur sosial yang tidak memberi ruang.
Anak muda yang tidak terserap ke dalam sistem pendidikan, pekerjaan formal, atau ruang seni-budaya yang mapan, akan menciptakan dunia mereka sendiri. Dalam konteks ini, sound horeg menjadi dunia alternatif yang menghibur, mengikat solidaritas, sekaligus menawarkan “panggung” bagi mereka yang selama ini tidak diperhitungkan.
Pada akhirnya, kita menemukan fenomena sound horeg ini menjadi festival rakyat khususnya anak muda untuk menegaskan ekspresi kebebasan, identitas dan solidaritas. Fenomena ini membentuk ritus baru yang secara simbolik mengandung berbagai makna. Makna-makna ini tentu saja akan berbeda tafsir dengan masyarakat mainstrem.
Makna-makna simbolik sebuah tindakan ini akan menarik jika kita tinjau melalui kacamata antropologi interpretasinya Geerzt. Ia menyebut tindakan manusia selalu sarat makna simbolik dan terikat pada konteks lokal. Apa yang terlihat sebagai “kebisingan” bagi masyarakat umum, mungkin dimaknai sebagai “kebersamaan” atau “ritual” bagi para pelaku sound horeg. Speaker besar yang dipasang di mobil pickup, musik remix yang menggelegar, dan iring-iringan yang membelah jalan desa bisa dibaca sebagai bentuk ritual baru yang menciptakan rasa memiliki dan kegembiraan kolektif sekaligus kebersamaan.
Problem itu Muncul : Ketegangan Sosial dan Moral
Layaknya fenomena subkultur di berbagai belahan dunia, fenomena sound horeg akan berhadapan dengan budaya dominan yang tak terhindarkan. Benturan nilai akan terjadi ketika unsur budaya baru berada di tengah budaya dominan. Ketegangan akan muncul dan tak terhindarkan.
Fenomena gerakan subkultur yang menyimpang dari normalitas umunya akan dianggap sebagai anomali. Ia akan dianggap berbenturan dengan nilai lokal, budaya sopan santun, ketenangan dan norma sosial yang existing. Apalagi, dalam konteks tertentu, sound horeg memberikan dampak negatif terhadap masyarakat.