Budayawan yang juga aktif sebagai Dosen Pasca Sarjana di Sekolah Tinggi Agama islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta ini menambahkan, proses hijrah yang didasari oleh semangat positif, sebenarnya bisa saja dilakukan dengan cara yang menyenangkan.
“Beberapa komunitas anak muda juga ada yang memakai tagline ‘Hijrah Millenial’ seperti yang dilakukan oleh teman-teman KOMUJI (Komunitas Musisi Ngaji) misalnya. Hanan Attaki juga ketika baru-baru ini dia berkumpul dengan ulama-ulama NU, dia menyadari bahwa ajaran dan spirit agama bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih fungsional dan menyenangkan, tanpa mengabaikan simbolisme dan ritualisme agama,” sambungnya.
Dr. Ngatawi menegaskan, gerakan ‘Hijrah Millenial’ itu akan menjadi kontekstual dengan realitas yang ada sekarang, selama dia bisa menghayati dan memahami persoalan-persoalan khilafiyah (perbedaan tafsir) yang ada di dalam Islam. Setelah itu, bisa mendudukan persoalan secara tepat, sehingga bisa membawa manfaat yang lebih luas.
“Harapannya, orang yang mengaku telah berhijrah bisa menampilkan sikap beragama yang lebih inklusif, toleran, moderat dan maslahah,” terangnya.
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia Lesbumi(Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2004 – 2015 ini berpesan bahwa spirit hijrah harus bisa menjebol sekat dan dinding segregasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, khususnya media sosial, jika tidak dikendalikan justru bisa menimbulkan perpecahan dan gesekan yang berpotensi memicu konflik horizontal.
“Dinding-dinding ini tidak terlihat, tapi ada. Tidak terwujud, tapi terasa. Ini adalah side impact dari perkembangan teknologi informasi, walaupun kita tidak pungkiri memiliki manfaat yang besar,” tegasnya.
Ia berharap pada tahun baru Hijriah ini, seluruh umat dan masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya, mengikis segregasi sosial supaya kehidupan, interaksi, dan persaudaraan bangsa menjadi lebih kuat dan menyenangkan.