Umara (pemerintah) dan ulama adalah dua bagian yang saling menopang membentuk satu kesatuan yang kokoh. Cepat berubahnya dinamika sosial akibat dari era disrupsi informasi menuntut kekompakan dari umara dan ulama demi mewujudkan stabilitas di tengah masyarakat. Melalui sinergi keduanya, Indonesia dapat memupuk nilai toleransi dan kemanusiaan di atas berbagai perbedaan kelompok dan golongan.
Guru Besar Hukum Islam Kontemporer UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Muammar Bakry, menyampaikan bahwa ulama dan umara adalah dua elemen penting yang memiliki peran sangat signifikan terhadap perkembangan peradaban manusia. Karenanya, mereka perlu bersinergi untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan, kedamaian, kesejahteraan dan ketenteraman pada masyarakat. Hal ini ia ungkapkan pada Rabu (21/11).
“Jika kedua elemen ini tidak menjalankan perannya sesuai dengan nilai-nilai kebaikan tadi, maka masyarakat sangat mudah untuk terombang-ambing dengan berbagai isu. Keduanya harus saling mendukung karena masing-masing punya power yang berbeda, kekuatan ada pada umara dan keagamaan ada pada ulama,” terang Prof. Muammar.
Ia menambahkan bahwa masyarakat diharapkan juga bisa melihat dengan jeli tentang siapa yang dianggap sebagai ulama. Merupakan suatu kewajaran jika yang dianggap dan ditokohkan sebagai ulama adalah mereka yang telah memenuhi kriteria tertentu. Jangan sampai ada oknum belum pantas dikatakan sebagai ulama, namun ia membuat pengakuan sepihak bahwa dirinya adalah seorang ulama.
Untuk itu, ungkap Prof Muammar, perlu dipahami bahwa pemenuhan kriteria untuk bisa dikatakan sebagai seorang ulama itu sangat berat. Sebagai ulama, seseorang harus memiliki penguasaan keagamaan yang sempurna dengan kajian pendalaman literasi yang cukup.
“Hal yang terkadang merusak persepsi publik terhadap citra ulama itu ketika ada oknum yang mengaku dirinya sebagai ulama, atau mungkin diakui secara tidak objektif oleh masyarakat tertentu. Misalnya karena mungkin ia pandai mengutip beberapa ayat, kemudian dirinya dijadikan sebagai pedoman keagamaan yang justru bisa merugikan umat karena tidak memiliki penguasaan keagamaan yang komprehensif,” jelas Prof. Muammar.
Maka dari itu, Sekretaris Umum pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan ini pun mengimbau agar masyarakat berhati-hati dalam memberikan predikat ulama terhadap figur tertentu. Selain penguasaan literasi yang baik, seorang ulama juga harus memiliki akhlak dan karakter yang santun, tenang, dan tidak mudah menghasut.