Kontradiksi tersebut terus terjadi ketika terdapat wabah. Bahkan ada yang membenturkan bahwa ketakutan terhadap wabah yang dialami umat Islam ini memalukan jika dibandingkan dengan ajaran Yesus. Di ajaran Yesus diceritakan ketika terjadi wabah justru ia mendatangi dan mengobati para korban yang terkena penyakit menular itu. Kalau dalam Al-Qur’an disebut dengan penyakit kusta (al-Abrash), (QS. 3[49], 5 [110]).
Riwayat seperti itu seringsekali dikutip dalam etika gereja. Ditambah lagi dengan jejak kekristenan yang semenjak abad 2 di masa Romawi yang pernah dilanda wabah Antonine, yang menghabiskan seperempat kekaisaran Romawi. Konon umat kristiani datang menolong mereka hingga akhirnya terjadi penyebaran Kristen.
Pertanyaannya, apakah ajaran Kristen lebih utama daripada Islam? Para ulama berpendapat dengan berargumen pada ayat Al-Qur’an, bahwa kedatangan Isa mengobati orang yang terkena penyakit kusta, menghidupkan orang yang sudah mati itu memang mukjizat yang diberikan kepada Isa yang kapasitasnya sebagai rasul pada saat itu. Seperti nabi Musa diberi mukjizat tongkat yang bisa mengalahkan para penyihir hebat era itu hingga bisa membelah laut.
Sedangkan nabi Muhammad diberikan mukjizat Al-Qur’an, yang menurut Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi keistimewaannya akan terus terbukti sepanjang zaman. Meskipun yang menemukan bukanlah orang Islam.
Terlepas dari itu, perlu sekali memberikan pendekatan spiritual sebagaimana kapasitasnya yang dikehendaki agama. Selain sisi jasmani juga sisi rohani. Keduanya sama kuatnya. Prinsip inilah yang pernah disampaikan nabi Ibrahim ketika ia berkata dengan tegas, “Ketika aku sakit maka Dia yang memberi obat.”
Maksud kata “Dia” ini merujuk pada Allah yang Maha Memberi Obat. Tentu maksudnya adalah ketika ia mengalami sakit baik batin maupun lahir, Allah lah yang memberi obat. Meskipun dengan banyak perantara. Artinya, pendekatan vaksin covid secara spiritual ini penting untuk melihat bahwa vaksin merupakan media untuk menyehatkan. Bukan merupakan ancaman mematikan.
Di Indonesia, vaksin covid sudah diamati secara medis oleh mayoritas ilmuan. Begitu juga dikuatkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai obat yang aman dan layak diberikan kepada masyarakat. Langkah selanjutnya, pendekatan yang relevan perlu terus disampaikan dengan narasi-narasi persuasif.