Sebaliknya, dengan sangat canggih, Islam diajarkan melalui jalur-jalur kebudayaan. Walisongo misalnya tidak serta merta mengganti tradisi lokal yang ada. Soto Kudus misalnya, karena penghormatannya kepada masyarakat Hindu saat itu, tidak menggunakan daging sapi, melainkan menggunakan daging kerbau.
Kita mungkin tidak akan dapat menyaksikan grebeg maulud jika wahabi yang menjadi penyebar Islam di Indonesia. Mengapa demikian, karena wahabi memiliki visi “pemurnian Islam” –tentunya menurut versi mereka sendiri. Akibatnya, hal-hal yang tidak sejalan dengan “ajaran” akan divonis kafir untuk kemudian dihilangkan. Kita mungkin tidak akan memiliki tradisi mudik saat lebaran karena mudik itu bukan syariat Islam. Kita juga tidak akan menemukan bedug di Masjid karena bukan syariat Islam.
Keberislaman akan menjadi kering dan kaku jika Wahabi menjadi penyebar Islam di Indonesia. Patokannya satu mantra sakti “jangan melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh nabi”. Sepintas lalu, mantra itu benar. Tetapi, jika didalami secara seksama mantra tersebut tak sepenuhnya benar. Karena tidak semua hal yang tidak dilakukan oleh nabi itu bermakna haram.
Contohnya soal memakan dhab (sejenis biawak). Suatu ketika, saat nabi bertamu dihidangkanlah dhab tersebut kepada nabi, namun Nabi enggan memakannya. Kemudian sahabat nabi (Khalid) bertanya: “apakah kita diharamkan memakan dhab, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab “Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku (oleh karena itu aku tidak suka memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia (dhab) halal” (HR. Bukhari-Muslim).
Seperti yang telah disampaikan di awal tulisan ini, jika Wahabi penyebar Islam pertama di Indonesia, maka corak keberislaman kita akan berbeda dengan yang kita rasakan saat ini. Mari kita lihat beberapa dampak, jika wahabi menjadi penyebar Islam di Indonesia;
- Jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia tidak akan sebanyak ini, karena pendekatan wahabi yang cenderung mengkafirkan segala hal yang berbeda dengan dirinya akan melahirkan resistensi di kalangan masyarakat.
- Hilangnya tradisi-budaya lokal. Tradisi-tradisi yang divonis bukan ajaran Islam akan dihilangkan diganti dengan tradisi yang diyakininya murni. Soto Kudus bukan lagi kerbau, tetapi menjadi sapi. Grebeg Maulud pun tidak ada. Gamelan akan sirna. Tidak ada mudik lebaran. Ziarah kubur punah. Dan lain sebagainya.
- Penolakan terhadap Pancasila sebagai pandangan filosofis bangsa dan negara Indonesia. Mungkin saja, kelompok Islam di sidang BPUPK akan tetap ngotot menginginkan Islam sebagai dasar negara. Akibatnya, kesepakatan bisa saja tidak dicapai. Kemerdekaan mungkin juga tertunda, bahkan tidak terwujud. Atau sekurang-kurang bangsa dan negara Indonesia tidak akan sebesar sekarang ini, dari Sabang sampai Merauke.
- Fikih akan sangat dominan. Pendekatan fikih yang melihat segala sesuatu halal-haram akan menjadi perspektif mainstream umat Islam. Pendekatan tasawuf yang tidak hanya melihat sesuatu dari aspek dhahir, halal-haram, tetapi berorientasi kepada refleksi diri dan penyucian diri, tidak akan berkembang di Indonesia.
- Diskusi-diskusi keislaman yang mengkaji Islam dari berbagai perspektif tidak akan tumbuh subur.
Alhamdulillah, wahabi bukan menjadi penyebar Islam pertama di Indonesia.