“Pada dasarnya, gerakan radikalisme merupakan suatu tindakan yang berlebihan dan dapat melahirkan umat beragama yang ekstrem. Dalam sudut pandang Islam, gerakan radikalisme dianggap sebagai al-baghy atau pemberontak.”
Radikalisme merupakan suatu upaya perubahan besar-besaran yang dilakukan secara keras (Khuza’i, 2014, p. 86). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), terdapat 4 kriteria radikalisme, antara lain menghendakinya perubahan secara cepat dengan tindak kekerasan, mengkafirkan orang lain, mendukung dan menyebarkan untuk bergabung ISIS, serta memaknai perbuatan jihad secara terbatas atau sebatas permukaan saja (Said dan Rauf, 2015, p.593-594). Terdapat pula faktor-faktor yang mendukung terjadinya gerakan radikalisme, seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik (Said dan Rauf, 2015, p.593-594).
Isu radikalisme diawali dengan penyerangan terhadap World Trade Center (WTC) di Kota New York Amerika Serikat pada tahun 2011 (Said dan Rauf, 2015, p.593-594). Serangan tersebut dilakukan oleh jaringan teroris dan kemudian disusul dengan kejadian-kejadian bom bunuh diri di tanah air (Said dan Rauf, 2015, p.593-594). Aliran radikalisme menolak adanya paham-paham liberal yang menyusup dalam urusan agama. Sebenarnya, radikalisme tidak hanya ditemukan pada aliran agama yang mempercayai satu Tuhan saja, tetapi juga terdapat pada agama Budha Hindu dan Konghucu (Khuza’i, 2014, p. 88).
Islam telah menyebar ke berbagai negara dan mulai mengalami modernisasi. Terdapat berbagai macam aliran Islam, salah satunya adalah Islam yang condong atau berhaluan Barat sehingga terjadi penurunan moral. Hal tersebut merupakan salah satu pemicu terbentuknya aliran radikalisme. Aliran radikalisme berusaha untuk menyerukan ajaran Islam yang murni tanpa adanya modernisasi. Tidak hanya menyerukan agama Islam, aliran radikalisme juga melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap menyimpang dari agama Islam yang murni (Abdullah, 2016, p. 3).
Bagi orang yang tidak memaknai Al-Quran secara utuh dan benar, memungkinkan adanya kesalahpahaman terhadap ayat yang tertulis didalam Al-Quran. Sebagai contoh ayat didalam Al-Quran yang terdengar radikal apabila tidak dimaknai dengan benar adalah ayat yang membahas tentang kewajiban jihad dengan jiwa dan harta. Pembahasan mengenai dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar juga rawan dipelintir oleh sebagian orang. Konsep dakwah ini diartikan sebagai dakwah yang menggunakan cara kekerasan untuk memberantas hal yang melenceng dari agama Islam. Hal tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan perspektif Islam (Khuza’i, 2014, p. 88).
Islam merupakan agama yang toleran dan inklusif. Seperti yang terjadi pada peristiwa Fath Makkah. Pada zaman tersebut, Makkah dijadikan markas berkumpulnya orang-orang musyrik. Dalam proses pembebasan Kota Makkah, terdapat sekelompok kecil teman Nabi Muhammad SAW yang menyerukan “hari penumpahan darah adalah hari ini”. Namun, Nabi Muhammad SAW tidak memperbolehkan semboyan tersebut dan menggantinya dengan seruan “hari kasih sayang adalah hari ini” (Khuza’i, 2014, p. 88). Penggalan cerita di atas menunjukkan bahwa Islam tidak berdakwah dengan kekerasan, tetapi Islam berdakwah dengan cara yang lembut.
Pada era globalisasi dan modernisasi, Islam telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Akan tetapi, hal tersebut juga merupakan suatu ujian dimana muncul aliran Islam yang bercampur dengan paham liberal. Oleh karena itu, diperlukan gerakan dakwah yang masif untuk kembali memurnikan ajaran Islam. Gerakan dakwah yang dilakukan bukan bersifat radikal dengan kekerasaan, tetapi menggunakan dakwah yang berbasis multikulturalisme. Pendekatan dakwah tersebut dapat lebih menjangkau masyarakat secara luas, terutama generasi muda. Selain itu, dakwah multikulturalisme dapat memberikan citra positif terhadap Islam (Khuza’i, 2014, p. 88).
Pada dasarnya, gerakan radikalisme merupakan suatu tindakan yang berlebihan dan dapat melahirkan umat beragama yang ekstrem. Dalam sudut pandang Islam, gerakan radikalisme dianggap sebagai al-baghy atau pemberontak. Al-baghy merupakan sekelompok orang yang melawan pemerintahan karena memiliki paham yang berbeda. Dalam hukum Islam, al-baghy termasuk dalam kejahatan dan dapat dikenakan sanksi pidana mati. Para mujtahid sepakat bahwa kepala negara diperbolehkan untuk memerangi pemberontak apabila golongan tersebut tidak segera menyadari kesalahannya (Said dan Rauf, 2015, p. 604).