Hadits riwayat Ummu Salamah ini demikian populer dan disebut sebagai dasar larangan memotong kuku dan rambut bagi yang mau berkurban. Walau sebenarnya ada juga pendapat yang tidak populer, bahwa yang dimaksud itu adalah pelarangan memotong kuku, dan bulu hewan kurban.
إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي
“Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Apakah larangan Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wassalam ini dimaknai sebagai keharaman bagi orang yang hendak berkurban pada bulan Idul Adha, ataukah sebatas larangan kemakruhan tanzih yang bukan keharaman?
Ternyata para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dalam salah satu versi riwayat, dan Imam Syafi’i menghukumi makruh. Sementara Imam Abu Hanifah menghukumi boleh, tidak makruh dan tidak sunah. Adapun Imam Ahmad bin Hanbal mengharamkannya.
Syekh Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan:
الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه
Artinya, “Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan, dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.“