Islamina.id – Dalam pandangan Kiai Sya’roni, Islam adalah agama rahmat bagi seluruh makhluk hidup, sebagaimana risalah Nabi saw yang tertera pada Q.S. Al-Anbiyā’ [21]: 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
Sehingga Islam harus tampil menyejukkan serta senantiasa mengajak kerukunan. Islam tidak mengajarkan “kekerasan”. Karenanya, ketika muncul kelompok-kelompok di kalangan umat Islam yang selalu memusuhi dan menampakkan kebencian terhadap penganut agama lain, maka dalam pandangan Kiai Sya’roni terdapat ketidaktepatan dalam pemahaman keagamaan mereka.
Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang memang rentan disalahpahami, seperti firman Allah Q.S. Muḥammad [47]: 4 yang secara tekstual berarti
“maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir, maka pukullah batang leher mereka (bunuhlah).”
Dalam pandangan Kiai Sya’roni, ayat ini, juga beberapa ayat serupa, turun dalam konteks peperangan, sehingga ber-istidlāl (mengambil dalil) ayat ini dengan membunuh non-Muslim dalam kondisi damai tidak dibenarkan.
Dalam memahami ayat-ayat perang dibutuhkan penafsiran yang holistic dengan melibatkan ayat-ayat dan hadis lain. Kiai Sya’roni menyontohkan Q.S. al-Tawbah [9]: 73 yang artinya
“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Selain dalam Q.S. al-Tawbah [9]: 73, ayat serupa juga terdapat dalam Q.S. al-Taḥrīm [66]: 9. Ayat ini secara jelas memerintahkan kepada Nabi saw untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keras kepada mereka. Akan tetapi, pada kenyataannya Nabi saw tidak bisa bersikap keras terhadap mereka, karena memang akhlaknya yang lembut.
Dalam pandangan Kiai Sya’roni, pada dasarnya Nabi saw enggan bermusuhan dan berperang melawan mereka, namun para sahabatnya yang memintanya hingga turunlah ayat izin perang (Q.S. al-Ḥajj [22]: 39).
Dari 27 peperangan yang diikuti oleh Nabi saw, ia hanya pernah membunuh satu orang dari kalangan kafir, yaitu Ubay ibn Khalaf. Ini terjadi ketika Perang Uḥud, di mana sebelumnya Ubay memang bertekad ingin membunuh Nabi saw, sehingga demi membela dan mempertahankan diri serta adanya perintah dari Allah swt, Nabi saw pun membunuhnya.
Keramahan Nabi Muhammad
Contoh kelembutan dan keramahan Nabi saw adalah ketika peristiwa Fatḥ Makkah (Pembebasan kota Makkah). Ketika itu para sahabat yang mengikuti ghazwah al-fatḥ (perang Fatḥ Makkah) ini telah merencanakan untuk membalas kematian sahabat, saudara ataupun keluarga mereka yang dibunuh oleh orang-orang kafir.
Baca juga: KH. Afifuddin Muhajir, Faqih Ushuli dari Timur
Namun Nabi saw memiliki pemikiran dan sikap berbeda. Sesampainya di Makkah, ketika orang-orang kafir merasa takut dibunuh, justru Nabi saw bersikap lemah lembut. Mereka dikumpulkan di Masjidil Haram terlebih dahulu, lalu justru dilepaskan oleh beliau. Sekiranya mau, Nabi saw dapat membunuh mereka atau menjadikan mereka sebagai tawanan. Namun beliau tidak menginginkan pertumpahan darah. Ia menginginkan perdamaian.
Dari penggalan-penggalan kisah tersebut, Kiai Sya’roni menyimpulkan bahwa Nabi saw memang berperangai lemah lembut dan tidak bisa keras. Jika dalam keadaan perang saja ia masih bersikap lemah lembut, apalagi dalam keadaan damai. Sikap dan akhlak inilah yang menarik non-Muslim untuk masuk Islam, sehingga Allah pun memujinya sebagaimana dalam firman-Nya, Q.S. al-Qalam [68]: 4.