Islamina.id | Hukum Shalat Jum’at Online – Seiring dengan merebaknya pandemi dan penyebaran infeksi virus terutama di tempat-tempat yang berpotensi menimbulkan kerumunan manusia, para ulama fikih sepakat mengeluarkan fatwa mengenai bolehnya meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid, aula, majelis, tempat-tempat ziarah, dan lain sebagainya untuk menghindari pandemi demi keselamatan jiwa dan kesehatan jamaah.
Di Indonesia penyebaran Covid-19 sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, jumlah orang yang positif terdampak virus tersebut bertambah setiap harinya, bahkan jumlah pasien meninggal karena virus tersebut juga semakin bertambah akibat tidak patuhnya sebagian orang terhadap protokol kesehatan: (1). Menghindari Kerumunan; (2). Menjaga Jarak; (3). Memakai Masker, dan; (4). Mencuci Tangan. Berkerumun adalah kegiatan yang melanggar Protokol Kesehatan yang dampaknya bukan hanya terhadap diri sendiri tetapi juga terhadap orang lain.
Para ahli fikih menyadari bahwa fikih selalu mempunyai pendapat terkait peristiwa-peristiwa baru, dan bahwa hukum berubah-ubah seiring dengan perubahan waktu, tempat, dan kondisi, tetapi pada saat yang sama mereka membedakan antara hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum perkara selain itu.
Mereka menetapkan hukum ibadah dengan logika “mengikuti” dan “melarang apa yang tidak disebutkan oleh syariat”, sementara dalam masalah-masalah muamalah dan hal-hal selain ibadah mereka cenderung memperluas dengan menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan.
Namun pembedaan tersebut tidak selalu menjadi pedoman dalam menyelesaikan perbedaan pendapat, sebab ibadah kerap berbenturan dengan keadaan-keadaan darurat dan perkembangan baru di mana logika “mengikuti” dan “melarang apa yang tidak disebutkan oleh syariat” tidak bisa bekerja, yang memaksa para ahli fikih melakukan ijtihad-ijtihad baru untuk memproduksi hukum-hukum yang baru.
Selama masa pandemi Covid-19 banyak fatwa yang sudah dikeluarkan, yang menunjukkan bagaimana “mesin fikih” bekerja di masa krisis dengan membawa semangat peradaban, guna memperluas gagasan dan pandangan, dengan mempertimbangkan keputusan yang dikeluarkan pemerintah berupa aturan-uturan yang bisa dipertanggungjawabkan ditinjau dari sisi hukum positif maupun hukum agama (fikih).
Fenomena ini tentu merupakan salah satu ciri khas dalam pemikiran Islam. Keterbukaan pemikiran adalah sesuatu yang indah, yaitu dengan diberikannya ruang kebebasan untuk membaca kembali gagasan-gagasan dan aturan-aturan yang ada, sembari tetap mengikuti keputusan pemerintah dan mengajak masyarakat untuk mematuhinya.
Pakar fikih Maroko, Syaikh Ahmad ibn al-Shiddiq al-Ghamari, mendapat banyak keluhan dari para khatib Jum’at pada masa penjajahan. Ia lantas mengeluarkan fatwa mengizinkan shalat Jum’at dengan mengikuti seorang imam melalui radio, dan ia kemudian menyusun sebuah kitab yang berjudul “al-Iqnâ’ bi Shihhat Shalât al-Jumu’ah fî al-Manzil Khalfa al-Midzyâ’” (Kepastian Mengenai Sahnya Shalat Jum’at di Rumah di Belakang Radio”.
Tidak ada yang membayangkan bahwa fatwa Syaikh Ahmad ibn al-Shiddiq al-Ghamari yang dikeluarkan berpuluh-puluh tahun yang lalu akan bergema saat ini sehingga memicu perdebatan di kalangan ulama tentang bolehnya seorang jamaah/makmum mengikuti seorang imam di televisi dalam melaksanakan shalat jamaah, shalat Jum’at, dan shalat Tarawih pada masa merebaknya pandemi Covid-19.
Pernyataan Syaikh al-Ghamari
Fatwa Syaikh al-Ghamari, yang pada masanya tidak ada seorang ulama pun yang menyanggahnya, atau setidaknya memberikan tanggapan—kecuali sejumlah ulama di Mesir yang lebih banyak mencelanya daripada mengkritisinya—di masa ini, dengan argumen dan interpretasinya yang luwes, telah menjadi bagian dari senjata yuristik yang digunakan dalam perdebatan di Maroko dan bahkan di seluruh dunia di kalangan para ahli fikih dan sarjana muslim.
Di dalam kitab yang disusunnya, Syaikh al-Ghamari menyebutkan tiga syarat bolehnya mengikuti seorang imam di radio dalam melaksanakan shalat Jum’at.
Pertama, kesamaan waktu antara imam/khatib dan jamaah/makmum di dalam suatu negara, sehingga tidak diperbolehkan bagi seseorang yang ada di Indonesia untuk shalat Jum’at mengikuti seorang imam yang ada di Arab Saudi melalui radio, sebab jarak antara keduanya sangat jauh dan waktu pelaksanaan shalat Jum’at pun tidak sama.
Kedua, rumah jamaah/makmum harus ada di belakang tempat imam, sehingga posisinya tidak berada di depan imam.
Ketiga, jamaah/makmum tidak hanya sendirian di dalam barisan, tetapi wajib ditemani orang lain meski hanya satu orang.
Menurut Syaikh al-Ghamari, shalat Jum’at bisa dilakukan di rumah melalui radio di masa-masa krisis dan darurat, termasuk di masa-masa terjadinya bencana.
Dalam pelaksanaannya, khutbah merupakan unsur terpenting sebagai pengganti dua rakaat shalat Zhuhur, dan itu bisa didengarkan dan disimak melalui radio. Selain itu, secara hukum shalat Jum’at tidak harus dilakukan di masjid, sebagaimana dalam hadits Sayyidah Aisyah ra., yang mengizinkan orang-orang di luar masjid mengikuti imam yang ada di dalam masjid.
Di sini, dalam pelaksanaan shalat Jum’at, yang penting adalah mengikuti imam, mendengar suaranya, dan itu bisa dilakukan melalui radio.