Islamina.id – Sampai saat ini Islam tampil dengan dua wajah. Pada satu sisi, Islam mengajarkan solidaritas, keadilan, pembebasan. Hadir dengan ramah, santun dan humanis. Pada sisi lain, Islam hadir dengan angkuh, intoleran, dan menjadi legitimasi terhadap penindasan dan eksploitasi baik yang dilakukan oleh negara ataupun oleh para agamawan.
Hal ini disebabkan karena nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan tidak pernah dipahami oleh pemeluknya. Seorang muslim ataupun agamawan lebih cenderung membahas dan mengkaji persoalan-persoalan ketuhanan dan masalah furuiyah. Islam menjadi agama Tuhan, dan melupakan aspek universalitas (baca: kemanusiaan) dari Islam.
Disamping itu, ada penyebab eksternal yang mempengaruhi pemeluk agama, sehingga aspek esensial dari agama terabadikan. Diantaranya, belum adanya rumusan yang jelas antara agama dan negara (kekuasaan), sehingga agama seringkali dijadikan alat kekuasaan atau sebaliknya, yakni negara dijadikan alat misionaris oleh agama. Jika demikian, maka baik agama maupun negara akan kehilangan fungsinya.
Agama tidak lagi menjadi media pembebasan dan negarapun hanya memunculkan ketidakadilan. Bahkan, jika keduanya bekerjasama (dalam arti negatif), maka ketidakadilan yang maha dashyat adalam imbalannya.
Maka pertanyaan yang sangat mendasar adalah benarkah agama lahir sebagai media pembebasan, membela hak-hak rakyat yang tertindas (al-mustadhafiyn) ?. Ataukah agama lahir hanya sekedar pelarian manusia dari ketidaksanggupannya memahami dan merespon gejala alam yang berada diluar dugaan manusia ?.
Tidakkah agama hanya menjadikan manusia sebagai budak-budak Tuhan yang menghilangkan jiwa solidaritas dan tanggungjawab sosial ? Dan, agama seperti apakah yang mampu mengakomodasi dan menjawab persoalan manusia?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, perlu kiranya menengok bagaimana sejarah awal Islam serta konsep-konsep dalam Islam mengenai hal tersebut. Islam lahir ditengah komunitas masyarakat Arab yang sangat eksploitatif, piramidal dan patologis. Islam lahir untuk mengubah sistem sosial tersebut menjadi masyarakat yang berdimensi keadilan, persamaan, saling menghargai, pembebasan.
Secara doktrinal, Al-Qur’an menyebutkan bahwa keadilan adalah sendi utama dalam masyarakat (QS. 7:29, 5:8), membela hak-hak rakyat bawah (QS. 4:75). Dan, ternyata kehadiran Islam di muka bumi cukup efektif dan berhasil mengubah tatanan sosial Arab yang eksploitatif.
Baca juga: Islam Melarang Terorisme, Apapun Alasannya
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Islam sudah tidak seampuh zaman Muhammad. Sebab, Islam pasca-Muhammad sudah mengalami stagnasi dan masuk dalam persoalan politik (rezimentasi). Munculnya pelbagai aliran-aliran dalam Islam seperti Khawarij, Mutazilah, Jabariyah, Qadariyah dan sebagainya telah membawa Islam pada dunia yang sama sekali berbeda dengan masa rasul.
Yakni suatu zaman dimana Islam mulai memasuki wilyah politik. Karena itulah, politisasi terhadap Islam seringakali terjadi. Islam menjadi legitimasi ketidakdilan, pembunuhan dan kekuasaan.
Tanpa mengecualikan dampak positif, perpecahan baik secara politis maupun teologis membawa ekses negatif yang sangat besar. Jargon ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan diantara umatku adalah rahmat) seringkali dijadikan legitimasi perbedaan tanpa pernah berfikir betapa banyak nyawa yang melayang dan harta hilang sebagai akibat dari munculnya perbedaan itu.