Wahabi Nusantara bukan hendak menyamakan adanya istilah Islam Nusantara, tetapi hendak memberikan pemetaan terkait dengan Wahabi sebagai suatu ideologi Islam yang hidup dan pernah berkembang di Nusantara. Secara historis gerakan ini dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1792) yang kemudian mendapatkan patron kekuasaan oleh pemerintah setempat (Anwar Afa & Gunawan 2021).
Ahmad Zaini Dahlan pada tahun 1980 an menulis salah satu karya yang menjadi rujukan para ahli sejarah ketika hendak melihat sepak terjang Wahabi pertama kali. Sebagaimana dikutip Laffan, Wahabi pertama kali melakukan upaya anarkis untuk melarang praktik-praktik yang dinilai menyimpang di daerah Taif, Makkah, yang saat itu sedang berlangsung musim haji (Laffan 2011).
Rekam jejak berdarah Wahabi di Timur Tengah sebagai negara asalnya dan di berbagai tempat lain juga tidak dibutakan begitu saja oleh sejumlah sarjana Indonesia. Abdurrahman Wahid (2007), Syaikh Idaram (2011), dan baru-baru ini Nur Khalik Ridwan (2020) merilis karya yang merekam kekerasan yang dilakukan Wahabi terhadap semua muslim termasuk ulama yang dianggap berbeda pendapat dengan mereka.
Meskipun demikian, gerakan Wahabi masih menarik minat sebagian masyarakat Indonesia hingga saat ini. Sejak era awal bahkan ada utusan dari Timur Tengah yang melaporkan kekejaman yang dilakukan Wahabi di Timur Tengah, justru ada sebagian masyarakat Nusantara yang menyambut baik. Bahkan gerakan mereka menginspirasi beberapa kelompok umat muslim yang ada di Sumatera Barat.
Kelompok Paderi yang dipimpin oleh Imam Bonjol (w. 1864) pernah melakukan hal yang sama dengan menentang ulama-ulama lokal yang dinilai telah menyimpang dari ajaran Islam. Dengan dalih, mereka melakukan ziarah kubur, praktik-praktik ritual yang tidak diajarkan oleh Islam. Namun, ternyata tidak dilakukan oleh imam Bonjol hingga akhir hayatnya. Konon, di akhir hidupnya, imam Bonjol dan para pengikutnya sudah melantunkan zikir dan sering mengutip salawat dalam kitab Dalail Khairat (Laffan 2011).
Laffan juga menilai bahwa sejumlah pengikut imam Bonjol yang masih Wahabiyyah dalam menggambarkan pembesarnya memakai tasbih dinilai sangat “lucu.” Keganjilan penggambaran Wahabiyah ala Nusantara juga tidak berhenti di situ. Dalam konteks para raja dan hingga Pangeran Diponegoro yang dituduh mempraktikkan ideologi Wahabi juga dinilai ganjil. Bahkan tidak mencerminkan pemurnian Islam sekalipun. Inilah dalam pandangan Rickelfs disebut sebagai mistis sintesis.