Dilihat dari kaca mata agama—dalam hal ini adalah al-Qur`an sebagai kitab suci karya monumental Tuhan yang diturunkan ke bumi—membaca merupakan tugas pertama yang diperintahkan kepada manusia. “Iqra`” (bacalah), adalah ayat yang mengawali turunnya al-Qur`an. Kenapa harus “iqra`,” kenapa bukan “ittaq-i” (bertakwalah), “tawakkal” (bertawakkallah), “u’bud” (beribadahlah) “ahsin” (berbuat baiklah), “âmin” (berimanlah) atau ayat-ayat lain? Ini kembali kepada fitrah manusia sebagai makhluk yang diberi keistimewaan berupa akal, yang membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
Manusia harus disadarkan dulu pada fitrah kemanusiaannya. Manusia bukan Malaikat yang hanya condong ke kanan, manusia bukan Iblis yang hanya condong ke kiri, manusia juga bukan binatang yang kerjaannya hanya makan, minum, dan berkembang biak. Tapi manusia adalah manusia, makhluk yang menduduki posisi sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Ketika Tuhan mengajukan amanat kepada langit, bintang-bintang, matahari, bulan, binatang, dan makhluk-makhluk lainnya untuk memakmurkan bumi, semuanya menolak, merasa tidak mampu, merasa tidak mempunyai potensi.
Tetapi tatkala amanat itu disodorkan kepada manusia, tanpa keraguan sedikit pun manusia langsung menerimanya. Sebab manusia sadar bahwa dalam dirinya tersimpan kekuatan tersembunyi maha dahsyat yang sesuai dengan amanat tersebut. Artinya, kemakmuran bumi akan terwujud kalau manusia mau menggunakan potensinya yang berupa akal untuk membaca, membaca ayat-ayat Tuhan, baik tertulis seperti kitab-kitab suci, atau ayat-ayat tak tertulis seperti alam dan segala isinya. Tanpa ini, jangan harap manusia bisa melaksanakan fungsinya dengan baik. Tuhan sangat mencela manusia yang tidak mau membaca dengan menyebutnya seperti binatang (ka al-an‘âm), bahkan lebih sesat (bal hum adhall).
Jadi, semuanya harus disertai dengan membaca. Dalam beriman (âmana), misalnya, manusia harus membaca agar tahu apa itu “iman”? Kenapa harus beriman? Bagaimana cara beriman? Apa manfaat iman dalam kehidupan? Siapa yang harus diimani? Kenapa harus beriman kepada Tuhan? Siapakah adanya Dia? Di mana Dia berada? Seperti apa wujud-Nya?
Demikian juga dalam berbuat baik (ahsan-a), manusia harus membaca agar tahu mana yang baik dan mana yang buruk, kenapa harus berbuat baik? Apa jadinya kalau berbuat buruk? Apa jadinya kalau berbuat baik? Seperti apa batasan-batasan hal yang disebut “baik” atau batasan-batasan hal yang disebut “buruk”? Kenapa disebut “baik”? Kenapa disebut “buruk”? Pengetahuan-pengetahuan seperti ini hanya akan diperoleh melalui proses membaca.
Pentingnya Membaca
Membaca diri (‘arrif nafsak-a), membaca fenomena-fenomena alam (sîrû fî al-ardh fa unzhurû…). Pengalaman juga termasuk proses membaca, membaca kehidupan (jarrib wa lâhizh takun ‘ârif-an). Beriman tanpa ilmu adalah sia-sia, berbuat tanpa ilmu adalah dusta. Tuhan berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu atau mau membaca (…wa al-ladzîna ûtû al-‘ilm-a darajât).
Kalau dicermati, di dalam al-Qur`an sama sekali tidak ditemukan kata-kata seperti “al-qirâ`ah”, “al-‘aql”, “al-fikr”, “al-fahm” atau “al-tadabbur”—dalam bentuk “mashdar” (akar kata). Kita hanya menemukan kata-kata “iqra`”, “ya’qilûn”, “yafhamûn”, “yatafakkarûn” atau “yatadabbarûn”, semuanya dalam bentuk “al-fi’l” (kata kerja). Berbeda dengan “al-fu`âd” atau “al-qalb” yang menggunakan bentuk “al-ism”. Ini menunjukkan bahwa membaca, berpikir, memahami, atau merenungi dalam penggunaan al-Qur`an adalah sebagai tugas (al-wazhîfah) dan aktivitas (al-‘amal), bukan sebagai alat.
Dalam masalah “al-‘aql”, misalnya, Tuhan berfirman, “Afalam yasîrû fî al-ardh-i fatakûn-a lahum qulûb ya’qilûna bihâ.” Atau di ayat lain, “Wa lahû ikhtilâf al-layl wa al-nahâr afalâ ta’qilûn.” Perhatikan, kata “ya’qilûn” atau “al-‘aql” digunakan sebagai tugas dan aktivitas bagi “al-qulûb” (hati) yang merupakan otak (al-dimâgh) bersama indera-indera lainnya untuk memperoleh berbagai informasi dari lingkungan luar. Bertitik tolak dari ini, al-Qur`an kemudian menyuruh manusia untuk berpikir dan menunjukkan kepadanya bagaimana fenomena alam terjadi, “Qul sîrû fî al-ardh-i fa unzhurû kayfa bada`a al-khalq” (Berjalanlah di muka bumi. Kemudian lihatlah bagaimana alam semesta ini mulai diciptakan).
Memikirkan sesuatu tidak akan mencapai titik paripurna kecuali setelah mengetahui bagaimana sesuatu itu dimulai, bagaimana proses keberlangsungannya berikut hal-hal yang berkaitan dengannya, kemudian akan ditemukan sebuah hukum yang mempengaruhi gerakan sesuatu itu. Setelah itu dilanjutkan dengan pemfungsian atau pengaktifan melalui pengarahan, akselerasi, perlambatan, pemanfaatan atau penggunaannya bersama hukum lainnya untuk kemudian melahirkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya (sesuatu yang baru). Tahapan-tahapan ini, mulai dari gerakan dan penelitian, penemuan hukum, serta pemfungsiannya dinamakan dengan ilmu.
Jadi, akal (al-‘aql) pada dasarnya adalah anugerah Tuhan bagi manusia tanpa makhluk-makhluk lain di muka bumi, yaitu sebagai kekuatan atau potensi terpendam (al-quwwah al-kâminah) yang siap untuk memperoleh ilmu (al-‘ulûm) dan pengetahuan (al-ma‘ârif), yang mana kekuatan tersebut ada bersamaan dengan lahirnya manusia. Perlu diperhatikan, akal bukanlah ilmu atau pengetahuan, akan tetapi sebagai potensi terpendam. Tuhan berfirman, “Kamu dikeluarkan dari rahim ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa.”
Setelah “dikeluarkan” kepada kehidupan dunia, manusia bergerak di muka bumi mempelajari, merenungi, mencari (menyingkap) dengan memfungsikan serta menggunakan potensinya tersebut. Kemudian ia melakukan penyaringan terhadap berbagai informasi yang didapatnya, mengklasifikasi, mengkategorisasi, menganalisa, menyusun, menghapus bagian-bagian yang tidak penting, menginduksi atau meneliti hingga pada akhirnya sampai pada informasi-informasi yang menjadi kaidah-kaidah dasar dan hukum-hukum yang akan digunakan sebagai instrumen-instrumen kognitif guna memperoleh informasi-informasi baru.
Demikianlah kehidupan manusia berlangsung, di mana pengetahuannya semakin bertambah, instrumen-instrumen kognitifnya mengalami proses pembaharuan, ketelitian dan kecermatannya semakin tajam, sehingga kemampuannya dalam menampung informasi-informasi lain juga semakin meningkat. Semua itu hanya dapat dicapai melalui proses membaca, tidak lain!!
Betapa pentingnya membaca, sampai-sampai Tuhan harus membuat sebuah karya besar berupa “kitab suci” untuk memberi petunjuk (hudan) kepada manusia agar mau membaca. Kenapa demikian? Karena Tuhan tahu bahwa alam dengan segenap gejalanya saja tidak cukup, makanya diperlukan bahan bacaan tertulis. Tetapi ternyata, banyak manusia tidak menyadari hal ini, sehingga banyak dari mereka yang menyimpang dari sisi kemanusiaannya.[]