Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa salah satu fadhilah ketika melakukan sujud adalah terbukanya hidung atau tanpa benda yang menutupi. Lalu bagaimana jika saat ini (pandemi) masih belum berakhir dengan shalat memakai masker? Apakah shalat kita masih sah?
Pembahasan mengenai tata cara ibadah di tengah pandemi masih sangat jarang terjamah di kalangan masyarakat. Begitupun kejadian yang penulis alami Jum’at lalu, tatkala seorang nenek memperingatkan cucunya untuk tidak menggunakan masker dalam keadaan shalat. “ketika shalat, buka maskernya, nanti shalatnya tidak sah” ujarnya.
Kendati demikian, saya tetap menggunakan masker ketika melaksanakan shalat Jum’at. Sementara itu saya dikagetkan ketika melihat kondisi Masjid yang mengabaikan protokol kesehatan. Di antaranya, tidak menjaga jarak, bahkan sebagian orang tidak menggunakan masker. Padahal daerah itu masih termasuk dari Ibu Kota yang kasus hariannya masih sangat tinggi.
Usut punya usut, setelah saya telusuri, ternyata menutupi wajah ketika sujud memang tidak dianjurkan dalam keadaan normal. Berdasarkan Ḥadīts Nabi SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ، وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang menjulurkan pakaian dalam shalat dan melarang seseorang menutupi mulutnya (dengan pakaiannya atau semisalnya).”
Ḥadīts di atas bisa ditemukan pada kitab Sunan Abi Daud nomor 643. Memang secara harfiah menjelaskan larangan untuk tidak menutupi mulut dalam keadaan shalat. Kendati demikian, ternyata larangan pada Ḥadīts tersebut tidak sampai pada derajat haram.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan pada periwayatan Sunan Tirmizi. Beliau meletakkan Ḥadīts tersebut pada bab Mā Yukrahu fi al-Shalāt (hal-hal yang tidak dianjurkan (makruh) dalam shalat). Selain itu Ḥadīts ini tidak berlaku untuk umum karena memiliki sebab yang khusus yaitu agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi. Bisa dilihat pada kitab Syarh Tuhfatu al-Ahwaz Ḥadīts nomor 378.
Kemudian kita mencoba menyentuh Ḥadīts ini lebih dalam, agar menemukan titik terang mengenai hukum shalat memakai masker.
Ḥadīts di atas memiliki derajat Ḥasan, yang berarti setingkat di bawah derajat Ḥadīts Ṣaḥīḥ. Perbedaan itu disebabkan adanya periwayat yang dianggap kurang Dabt : ketelitian, hafalan. Dengan demikian, Ḥadīts larangan menutup mulut ketika shalat benar adanya dari sabda Nabi SAW.