Semenjak pemerintah mengampanyekan pentingnya vaksin Covid-19 diberlakukan secara menyeluruh untuk semua lapisan masyarakat, muncul beberapa respon baik yang pro maupun kontra. Meskipun pemerintah di awal vaksin dilaksanakan sudah menggandeng beberapa tokoh dari kalangan agamawan, adat, pejabat hingga selebriti.
Namun hasilnya hingga saat ini tetap belum sesuai harapan. Masih ditemukan banyak masyarakat yang tidak percaya terhadap vaksin covid-19. Menariknya mereka yang memiliki pengaruh besar yang kedudukannya sebagai tokoh agama maupun tokoh adat juga jadi pelopor tidak percaya terhadap vaksin covid-19 dengan beragam dalih. Ada yang menuduh vaksin covid-19 untuk pembantaian massal, hingga vaksin dituduh sebagai propaganda China.
Jumlah mereka jika dihitung pada setiap provinsi berbeda-beda. Ada yang jumlahnya hingga 59% masyarakat yang tidak percaya dengan vaksin covid-19, dan bahkan tidak percaya kalau virus Covid-19 itu ada. Menariknya, secara terang-terangan narasi-narasi seperti itu masih bertebaran di media sosial yang dengan mudah diakses oleh masyarakat awam.
Belum lama ini, ketua umum PBNU, Kiai Said Aqil Siraj menyinggung adanya Kiai besar yang sampai saat ini masih jadi provakator tidak percaya adanya vaksin. Anehnya, kata beliau, kiai model itu bukanlah kiai kecil, seperti kiai mushala, tetapi kiai yang punya pengaruh besar di masyarakat.
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Mahfud MD. Paparnya, sampai saat ini perbedaan tentang vaksin covid-19 masih terjadi baik dari kalangan tokoh agama, pejabat hingga ilmuan, dokter dalam konteks ini.
Sebenarnya dalam konteks perdebatan akademik ini menarik. Di satu sisi membuka masyarakat awam untuk ikut belajar dalam diskursus tersebut. Tetapi di sisi lain karena korban semakin banyak, maka upaya solutif tetap nomor wahid.
Di masa Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi wabah Tha’un, juga terdapat dua pendapat yang kontradiktif di era itu. Kelompok satu meminta agar umat Islam tidak takut dengan wabah tersebut dengan mengutip sabda Nabi bahwa Tha’un itu adalah rahmat bagi orang mukim dan bagi yang meninggal berpahala syahid.
Sedangkan kelompok kedua berijtihad bahwa menyalamatkan diri dari wabah itu lebih utama karena untuk kemaslahatan dalam jangka panjang. Setelah perdebatan itu didengar oleh Umar bin Khattab, beliau mendukung pendapat kedua yang memilih kemaslahatan jangka panjang.