Kepergiannya ditangisi banyak orang. Kehadirannya selalu dirindukan. Laku hidupnya banyak dijadikan inspirasi dan teladan. Pemikiran dan gagasan-gagasannya menjadi angin segar di tengah kering-kerontangnya pada saat masyarakat Indonesia dalam situasi ‘moral’ yang disebut “krisis kemanusiaan”. Walaupun, kadang-kadang pemikirannya kerap mengundang polemik di tengah masyarakat (yang tidak memahami visi-misinya).
Itulah Gus Dur, sosok manusia multidimensi. Ia intelektual atau cendekiawan muslim, kiai sekaligus ulama, dan pejuang kemanusiaan yang cukup berpengaruh sampai saat ini. Meskipun Gus Dur telah lama meninggalkan kita, tetapi ia masih hidup dalam diri bangsa Indonesia melalui pemikiran atau gagasan-gagasan yang ditelurkannya. Yang menarik, ia tidak sekadar fenomenal di kalangan umat muslim, terutama Nahdlatul Ulama (NU), juga di kalangan non-muslim. Sehingga, mencari sosok seperti Gus Dur teramat sulit, apalagi untuk saat ini.
Semasa hidup, Gus Dur memang dikenal dengan ungkapan-ungkapannya yang ganjil. Salah satunya, “Tuhan tidak perlu dibela karena Tuhan sudah Maha Segalanya. Tetapi belalah mereka-mereka yang diperlakukan tidak adil dan diskriminatif”. Walau begitu, Gus Dur adalah termasuk aktivis kemanusiaan. Ia memperjuangkan kesetaraan umat manusia, terutama di Indonesia, baik melalui karya, pemikiran maupun laku hidup sehari-hari. Tidak berlebihan jika penulis menjuluki Gus Dur sebagai bapak sosialisme dari pesantren abad ke-21 ini. Mengapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja, memerlukan argumentasi dan analisa yang kuat dengan menelisik rekam jejak dan sepak terjang perjuangan Gus Dur.
Secara pribadi, penulis tidak mengenal sosok Gus Dur bahkan tidak ‘berjabat’ secara langsung. Penulis hanya mengenal dari buah pemikiran dan gagasannya yang ditelurkan dalam sebuah karya. Hasil dari pengamatan penulis dari apa yang dibaca, dilihat dan dicermati ihwal perjalanan hidup dan sepak terjangnya, terutama dalam kemasyarakatan dan keberagamaan, dapat direfleksikan ke dalam 4 hal mengapa Gus Dur oleh penulis layak dijuluki Bapak sosialisme di abad ke-21 ini.
Pertama, Gus Dur seorang pesantren tulen. Sudah jamak diketahui bersama bahwa pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Sebagai lembaga tertua, pesantren memainkan peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam di bumi Nusantara. Sejak kali pertama berdiri, pesantren mendeklarasikan diri sebagai lembaga pusat kajian ilmu-ilmu keislaman (tafaqquh fid-dien). Kontribusinya begitu besar terhadap tegaknya Islam Ahlussunnah Waljamaah sampai saat ini.
Kendati demikian, misi utama pesantren adalah membentuk akhlak seorang santri, selain mencetak para kader-kader ulama. Alih-alih mengajarkan ilmu-ilmu agama, akhlaklah yang diutamakan. Tidak mengherankan, jika di pesantren akhlak memiliki posisi (kedudukan) yang strategis bahkan menjadi prioritas utama.
Tak hanya itu, pesantren juga mengajarkan tentang pentingnya sikap toleransi terhadap sesama, baik kepada santri ataupun non-santri. Dengan posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, adalah wajar jika pesantren tidak membedakan status sosial dan kelas masyarakat. Artinya, siapa saja yang berkeinginan untuk mempelajari atau memperdalam pengetahuan keagamaan Islam, diperbolehkan memasuki lembaga tersebut.