Benih-benih pemahaman terorisme sampai saat ini belum juga mati. Padahal, Negara sudah berusaha meredam gerakan dan paham radikalisme, salah satunya membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menangkal paham radikalisme melalui pembinaan. Selain itu, negara juga membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan agar rakyat Indonesia memahami pancasila secara kaffah (keseluruhan).
Namun, tetap saja gerakan dan paham radikalisme masih tumbuh subur di negeri kita. Hal tersebut terbukti dari laporan Analis Utama Intelijen Densus 88 Antiteror Polri, Brigjen (Pol) Ibnu Suhendra yang menyebutkan bahwa Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri sepanjang tahun 2020 telah menangkap 32 orang terduga terorisme.
Di tahun 2021, aksi terorisme kembali terjadi yakni di Gereja Katedral Makassar dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Pertanyaannya mengapa sampai saat ini gerakan dan paham radikalisme masih terus ada, dan bagaimana cara memusnahkannya?
Medsos Alat Doktrin Radikalisme
Kita ketahui bahwa perkembangan teknologi dan informasi mempermudah manusia dalam melakukan berbagai hal termasuk mempengaruhi orang untuk bertindak radikal. Oleh karenanya, tahun 2015 lalu, BNPT bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMENKOMINFO) mencoba memblokir situs-situs Islam yang dianggap menjadi bibit-bibit paham terorisme.
Pemblokiran situs-situs yang dianggap radikal seharusnya terus dilakukan, sebab berdasarkan penelitian Profesor Komunikasi di University of Haifa, Gabriel Weimann, perkembangan situs yang dimiliki oleh kelompok teroris dari tahun ke tahun, selalu mengalami peningkatan.
Pada tahun 1998 misalnya, kelompok teroris hanya memiliki 12 situs. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 2.650 situs pada tahun 2003. Temuan terakhirnya, pada tahun 2014 ia menemukan bahwa kelompok teroris telah teridentifikasi memiliki lebih dari 9.800 situs (Agus SB, Deradikalisasi Dunia Maya: Mencegah Simbiosis Terorisme dan Media 2015).
Data tersebut menunjukan bahwa kelompok radikalisme memahami bahwa dalam menyebarkan ideologi secara “aman”, mereka harus memanfaatkan teknologi seperti website, youtube, facebook, twitter, vlog, dan instagram. Mengapa demikian? Karena teknologi memberikan banyak kemudahan dan yang paling penting adalah pertama tidak adanya kontrol dan regulasi yang jelas dari pemerintah, sehingga pengelola dapat melakukan dengan konten yang mereka produksi.
Kedua, media online juga dapat menjangkau audiens yang luas. Ketiga, dapat dilakukan secara anonim. Keempat, memiliki kelebihan pada kecepatan transfer informasi. Kelima, bersifat interaktif, murah dalam pembuatan dan pemeliharaan, bersifat multimedia (cetak, suara, foto dan video) dan utamanya (keenam) adalah karena internet menjadi sumber rujukan media mainstream (Gabriel Weimann. 2006. Terror on the internet: The new arena, the new challenges. Washington D.C.: United States Institute of Peace Press).
Upaya Lain
Oleh karena itu, harus ada upaya lain dalam menangkal paham-paham radikalisme, salah satunya adalah memperkuat organisasi-organisasi pelajar di sekolah-sekolah yang bergerak di bidang keagamaan untuk melakukan kaderisasi kepada adik-adik pelajar dalam memahami nilai-nilai Islam yang rahmatan lil a’lamin.
Saat ini, organisasi pelajar seperti Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama- Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) sangat serius dalam melawan paham-paham radikalisme. Dalam melakukan perekrutan anggota atau Masa Kesetian Anggota (Makesta), organisasi yang lahir pada 24 Februari 1954 itu selalu mendoktrin calon anggotanya dengan memasukan materi Aswaja (ahlussunnah wal-jamaah An-Nadliyah) yang bernafaskan keislaman dan Pancasila.
Namun, harus diakui bahwa tugas IPNU-IPPNU semakin berat, sebab, berdasarkan Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, pada Oktober 2010-Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.