Menulis tentang tradisi lokal, terutama tradisi Madura cukup membuat pelik. Bisa juga dikatakan susah gampang. Pasalnya tradisi yang hidup dan berkembang di Madura cukup kompleks dan universal. Dari satu daerah ke daerah yang lain berbeda secara penamaan dan pelaksanaan. Begitu pun dengan tradisi Andherenat (ritual meminta hujan) di Pulau Giliyang. Pulau yang berada di tengah lautan luas di sebelah timur Pulau Madura.
Tradisi Andherenat adalah turunan dari rokat (kalau di Jawa ruwat). Rokat sendiri di Madura khusunya pulau Giliyang merupakan tradisi untuk meminta pertolongan dari Yang Maha memberi keselamatan kepada ciptaan-Nya. Sederhananya rokat atau selamatan adalah doa yang dilaksanakan di waktu-waktu tertentu sebagai harapan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Tradisi Andherenat sebagai upaya untuk merespon kondisi sosial masyarakat yang berada di pedesaan.
Upacara meminta hujan cukup beragam di Indonesia. Setiap daerah memiliki cara dan ritual yang berbeda. Tetapi, esensinya sama yaitu sebagai bentuk menjaga ladang dan sawah yang sudah diwariskan secara turun temurun. Sebab di daerah agraris ketergantungan terhadap tanah cukup tinggi. Apalagi seperti di Pulau Giliyang, hujan menjadi salah satu harapan untuk menyuburkan tanah.
Lebih jauh lagi, masyarakat Pulau Giliyang melaksanakan tradisi Andherenat untuk bebas dari adanya wabah, gangguan makhluk lain, dan kesialan yang mengakibatkan kesengsaraan secara pribadi ataupun komunal. Jadi, Andherenat bagi masyarakat adalah salah satu bentuk usaha yang bertujuan agar kelak setelah melaksanakan Andherenat bisa mendapat keselamatan, kesehatan, kedamaian dan ketentraman jiwa.
Maka jika melihat tradisi Andherenat dalam komunitas masyarakat Giliyang merupakan salah satu warisan tradisi dari nenek moyang yang dijaga dan dirawat untuk menjaga keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam. Pola tradisi yang semacam ini patut dijadikan sebagai paradigma untuk memutus mata rantai kelaparan dan kemiskinan yang ada di pedesaan. Pasalnya, masyarakat Pulau Giliyang menjadikan hasil bumi sebagai pangan pokok yang tidak dijual keluar daerah, hasil pertanian disimpan untuk ketahanan pangan keluarga atau kelompok, selebihnya diberikan kepada masyarakat di lingkungan sekitar, terutama ketika pelaksanaan Andherenat.
(2)
Pandemi COVID-19 bukan semata-mata bencana kesehatan yang akan merenggut nyawa, lebih dari itu ia mampu mengacak-acak semua lini kehidupan manusia, baik dari sosial, budaya dan ekonomi. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa besar, apalagi di bidang pangan. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya jurang kemiskinan semakin tajam. Untuk itu, butuh kearifan atau tradisi lokal yang menjadi penyangga dari situasi pandemi. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Giliyang: Andherenat.
Andherenat yang dirawat dalam kehidupan sosial masyarakat Pulau Giliyang sebenarnya upaya untuk saling bergandeng tangan merawat tanah atau ladang dan sawah, yang dalam kosmologi masyarakat Madura tanah dijadikan sebagai entitas yang sama seperti manusia; dirawat, dijaga dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya. Inilah tanah bagi masyarakat Madura, begitupun dengan konstruk yang ada dalam pikiran masyarakat Giliyang. Sehingga dari ini kita akan mengetahui bahwa tradisi memanggil hujan adalah bentuk kecintaan dan kepedulian masyarakat terhadap makhluk di luar dirinya yaitu tanah.
Oleh karenanya, Andherenat yang setiap tahun dilakukan masyarakat Giliyang bentuk dari bagaimana manusia berharap hujan yang disimbolkan sebagai kesuburan. Dari simbolisasi inilah kemudian masyarakat akan membuat pola kehidupan yang justru mendukung wacana pemerintah tentang ketahanan pangan. Misalnya, ketika panen, masyarakat pantang menjual hasil pertanian. Mereka memilih untuk menyimpang di gudang, sebagian yang lain untuk kegiatan sosial keagamaan dan ritual-ritual lain. Tradisi saling memberi hasil panen antara individu atau kelompok dengan individu dan kelompok lain merupakan implementasi dari kehidupan yang menjunjung tinggi asa gotong royong, kebersamaan, dan kemanusiaan.
Tradisi Andherenat dilaksanakan setiap tahun sekali dalam rangka meminta atau memohon turunnya hujan setelah melewati kemarau panjang. Seperti yang dikatakan Uliyanto sejarawan muda Giliyang bahwa ketergantungan terhadap air hujan sangat mendominasi dalam kehidupan masyarakat Giliyang terutama di sektor pertanian. Sebab di Pulau Giliyang tidak ada irigasi air dari sungai dan danau. Sehingga masyarakat Giliyang melaksanakan Andherenat yang diisi dengan lantunan puji-pujian zikir arrahman-arrahim.