Islam di Indonesia hadir bukan membawa budaya Arab di dalamnya. Melainkan membawa ajaran-ajaran Islam yang harus diserap dalam hati kita semua, itu titik point sebenarnya. Mungkin juga relevan dengan ungkapan Gus Dur tentang istilah pribumisasi Islam Indonesia. Melainkan Islam datang ke Indonesia, dan tinggal di Indonesia, dipahami sebagai agama yang juga berkembang dengan realitas pun idealitas. Melihat kemajemukan masyarakat Islam Indonesia, bisa dipetakan dengan dua pandangan di atas, yakni Islam sebagai idealitas dan Islam sebagai realitas. Memahami dua konsep ini dalam melihat Islam Indonesia begitu relevan.
Misalnya dengan Islam idealitas menuntut kita semua bahwa Islam harus berpakaian Islami, kegiatan Islami, layaknya nabi, ulama dan idealitas dalam berislam. Namun, pada konteks yang berbeda kemudian muncul Islam sebagai realitas bahwa kemudian cara berislam sebagai masyarakat Muslim harus melihat ketradisian di sebuah lokalitas etnografis yang tak lain Indonesia sendiri. Sehingga cara berislam mereka terkesan adanya sebuah akulturasi yang dengan banyak sudut pandang cara menafsirkannya. Seperti Geertz menjelaskan bahwa ada Muslim abangan ada Muslim santri. Kedua-duanya saling bersinggungan dalam realitas kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia.
Islam yang bersemayam di Indonesia ini sudah menjadi agama yang turut berkembang seiring dengan kebudayaan dan peradaban Indonesia. Memaknai akan sebuah keragaman ini menjadi sebuah persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Memaknai Islam secara dunia bahwa Islam dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. dengan turun di tanah Arabia bukan perihal menyamakan, melainkan pelajaran. Islam sebagai agama yang telah melintas batas benua dan samudera, sehingga mampu dibawa oleh segerombolan saudagar hingga sampai di tanah Nusantara ini (Indonesia). Hurgronje menjelaskan bahwa Islam yang disyariatkan oleh Nabi Saw ialah agama Muhammadanism atau Arabism—agama dengan paham Muhammad, atau Arab.
Jadi, para orientalis mencoba menafsirkan Islam pada kubangan di mana dan siapa pembawa agama tersebut. Faisal Ismail (2017) menjelaskan seolah-olah Islam itu dinisbatkan siapa yang membawanya atau di mana asal daerahnya. Padahal Islam itu agama peradaban, melintas batas, bukan lokalitas (Arabia). Ketika menggunakan lokalitas tersebut, terkesan bahwa Islam ialah Arab. Sehingga banyak makna untuk saling menyudutkan, menyalahkan, terhadap penyikapan Islam yang datang di Indonesia. Terutama yang paling bersentuhan ialah antara kebudayaan dan Islam. Ketika menyandingkan dengan kata peradaban, kebudayaan lebih terkesan mengikat. Sedangkan peradaban dalam Ajid (2020) bisa di maknai lebih luas dan menyeluruh. Peradaban lebih menyinggung pada si penggerak sejarah yakni manusia. Bahwa peradaban itu juga menyangkut kebudayaan, sosial, bahasa, suku, dan lainnya yang akan terus mengalami perkembangan, perubahan dalam lintas sejarah umat manusia itu yang di sebut peradaban. Jadi, sense dari peradaban sendiri itu lebih luas.
Islam di Indonesia harusnya bisa menjadi sebuah percontohan yang memberikan pelajaran dalam membina umat dengan jalan wasathiyah. Islam itu indah, hanya saja individunya yang kurang indah dalam menyikapi keadaan dan tata cara keberislamannya. Islam jangan di jadikan sebagai trend dan ramai-ramaian, tapi impactnya apa?terutama bagi kehidupan beragama. Dengan adanya beberapa kelompok-kelompok Islam yang tumbuh dan hadir di Indonesia, umat Islam seraya terpetakkan dengan sendirinya. Misalnya di Indonesia ada mazhab dalam teologi Islam; Sunni, Syiah, Wahabi dan lainnya, mazhab ini masih melahirkan organisasi Islam; NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya. dari organisasi Islam, ideologi dalam beragama pun masih dipetakkan dengan adanya partai-partai politik yang bernuansa Islam; PAN, PKS, PPP, PBB, dan PKB.
Misalnya antara NU dan Muhammadiyah. Dalam arus awal pendirian kedua rumah besar Islam Indonesia ini, banyak menuai polemik. Baik terkait peribadatan, konsep hukum Islam, madzhab, konsep budaya dan Islam, hubungan antara umat agama dan beberapa komponen lainnya. Namun, memasuki era modern menjelang era digital bahwa keduanya terkesan damai, dan saling memahami satu sama lain. Antara mereka juga sudah tak lagi mempersoal bagaimana untuk mencari kebenaran tentang ibadah dan kebenaran dalil atau mencari kesalahan-kesalahan tentang ibadah yang selama ini dijalankan.
Baik NU dan Muhammadiyah, sudah tidak ada waktu untuk diperdebatkan kembali, yang perlu diperdebatkan ialah beberapa kelompok-kelompok yang baru muncul dengan atas nama Islam berdiri di Indonesia. Yang kemudian memekikkan suara lantang untuk mendirikan negara Islam dengan sistem Khilafah. Semestinya mereka juga harus menyadari, khilafah itu sistem pemerintahan yang bagaimana? Dampaknya apa? Kalau diterapkan di Indonesia seperti apa?. Mun’im (2018) menjelaskan bahwa perlu belajar sejarah, apakah ini dari Nabi Saw dan hasil musyawarah ? apakah ini murni dari Islam? ataukah ini sebuah pandangan politik saja?. Namun, ketika Indonesia juga ditawari konsep sekular pun juga tidak mungkin. Karena dengan hampir penduduk Indonesia ialah umat Islam.