Pilihan yang diambil antara menerapkan segregasi (baca: pemisahan) gender maupun non-segregasi gender (dalam pembelajaran) oleh lembaga pendidikan Islam menjadi salah satu aspek yang kerap disorot. Berbeda dengan lembaga pendidikan umum yang tidak terlalu memperdulikan antara segregasi gender dan non-segregasi gender. Tiap lembaga pendidikan Islam merasa dirinya perlu meninjau apakah program serta kebijakan pendidikan yang ditempuhnya telah sesuai dengan ajaran Islam atau belum. Termasuk dalam hal menerapkan pola segregasi atau non-segregasi.
Menurut Islam
Menurut Laili dalam Adakah ABK di Kelasku? (2013), kelompok belajar (kelas) terbagi atas dua model, yaitu kelompok belajar homogen dan heterogen. Kelas homogen adalah kelas yang terpisah antara laki-laki dan perempuan (tunggal gender), sedangkan kelas heterogen adalah kelas campuran antara laki-laki dan perempuan. Karena dalam kelas heterogen terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, maka kelas heterogen bisa termasuk dalam kategori istilah fikih yang dikenal dengan sebutan ikhtilath.
Said Al-Qatthani dalam Al-Ikhtilath, menyebut ikhtilath sebagai bertemunya laki-laki dan perempuan (bukan mahrom) di suatu tempat yang bercampur baur dan terjadi interaksi diantara laki-laki dan wanita itu (misal: bicara, bersentuhan, ngobrol dan sebagainya). Imam Nawawi dalam syarah Al–Muhadzdzab, mengungkap ikhtilath antara laki-laki dan perempuan jika bukan khalwat adalah sesuatu yang bukan haram”. Lebih khusus Abdul Karim Zaidan dalam Al-Mufassol Fi Ahkam Al-Mar’at mengatakan bahwa perkumpulan laki-laki dan wanita dalam suatu majlis ilmu (pengajian) itu diperbolehkan.
Syekh Ibn Hajar Al-Haitamy dalam Al-Fatawa Al-Kubro juga mengatakan bahwa ikhtilath ada yang boleh dan ada yang tidak boleh (haram). Ikhtilath yang boleh adalah yang tanpa adanya persentuhan antara tubuh dan bukan khalwat (berdua-duaan) yang diharamkan. Sementara ikhtilath yang diharamkan adalah yang terdapat persentuhan, berbaur hingga bersentuhan, (baca: berdesakan) antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, pada akhirnya hukum ikhtilat antara peserta didik laki-laki dan perempuan sangat tergantung pada ada atau tidaknya aturan syariat yang dilanggar, jika ada aturan syariat yang dilanggar maka haram, tetapi jika tidak ada aturan syariat yang dilanggar maka tidak haram. Unsur-unsur yang perlu dijaga dalam masalah ikhtilath ini adalah menjaga pandangan, memelihara aurat, bersuara dengan nada yang sepantasnya, menjauhi khalwat (menyendiri) dengan laki-laki atau wanita lain.
Sejauh yang ditemui, banyak lembaga pendidikan Islam yang menerapkan kelas heterogen. Terutama ini diwakili oleh banyak lembaga pendidikan Islam kecil. Tetapi lembaga pendidikan Islam yang menerapkan pola segregasi gender umumnya berpegang pada Q.S An-Nur, ayat 30. Dengan tujuan pokok demi terjaganya pergaulan antara laki laki dan perempuan sehingga peserta didik lebih fokus pada pembelajaran (Imam Ahmadi, 2015). Selain tentu saja, pemisahan gender didasarkan pada beberapa alasan seperti agama, pragmatis, darurat, emansipatoris dan budaya (Evi Muafiah, 2018).
Kelebihan dan Kekurangan
Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, segregasi kelas berbasis gender dapat membuat prestasi belajar lebih tinggi dibanding sekolah yang menerapkan sistem non segregasi kelas berbasis gender (Nita Mustafa, 2015). Sistem segregasi gender membuat pembelajaran menjadi lebih nyaman dan lebih mandiri. Siswa laki-laki juga lebih bertanggung jawab meski dari segi nilai mereka masih belum menyamai siswa perempuan (Indi Puspitasari, 2017).
Sikap laki-laki dengan pembelajaran yang menerapkan segregasi lebih percaya diri dan memiliki semangat yang lebih besar daripada siswi dalam ranah ekstrakurikuler (Muhammad Toriq, 2017). Sistem pengajaran terpisah berdampak pada hasil belajar peserta didik yang lebih konsen dalam belajar dan dapat menjaga akhlak pergaulan antara lawan jenis (Umi Churiatun, 2017). Temuan juga menunjukkan bahwa ruang kelas dengan satu jenis kelamin di sekolah umum menunjukan hasil belajar yang meningkat dalam aspek afektif dan kognitif (Phyllis Fatima Morrell, 2009).
Selain itu, kesimpulan penelitian lain mengungkap bahwa manajemen kelas berbasis gender tunggal memiliki beberapa kelebihan, yakni; sekolah mempunyai ciri khas, daya tarik dan daya jual, kelas menjadi bersih dan rapi apabila dikelola oleh peserta didik putri, guru mudah mengkondisikan dan mengelola iklim, serta lingkungan kelas, terjaganya pergaulan, pembelajaran terasa aman dan nyaman, peserta didik fokus dalam belajar, aktif dalam bertanya dan menjawab, lebih mandiri, berkesempatan menjadi pemimpin, tercipta adil gender, serta meningkatkan hasil belajar dan prestasi peserta didik (Uum Humairoh, 2020).