Membicarakan seputar lingkungan atau stabilitas alam di negeri ini nyaris terabaikan. Media massa kita –online maupun cetak– tampaknya lebih tertarik pada persoalan-persoalan politik dan life style; siapa yang pantas menjadi presiden, model hijab terbarukan, pakaian ala-ala orang Eropa-Korea, dan lain-lain.
Kalaupun ada media massa yang tertarik, itu pasca terjadinya bencana alam semisal banjir, tsunami, tanah longsor, dan sebagainya. Tenaga media massa seakan habis terkuras oleh wacana politik dan gaya hidup. Sehingga, untuk membincang perihal masalah lingkungan atau stabilitas alam tertatih-tatih alias lamban (ini beneran, lho, bukan sinisme).
Padahal, masalah lingkungan merupakan fenomena global yang semakin hari kian mengkhawatirkan dialami oleh seluruh umat manusia di dunia, termasuk Indonesia. Pengeksploitasian sumber daya alam dan pengurasan isi yang terkandung di dalamnya semisal penggundulan hutan, minyak, gas bumi, dan sebagainya adalah bentuk dari pencemaran lingkungan yang dilakukan manusia sendiri.
Akibatnya, pelbagai bencana alam yang menimpa Indonesia belakangan ini seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, maupun kekeringan karena musim kemarau yang begitu panjang tak terhindarkan. Wajar jika ada yang berpendapat bahwa merebaknya kerusakan lingkungan dan stabilitas alam yang cukup memprihatinkan merupakan gambaran krisis spiritual paling dalam yang pernah melanda umat manusia.
Kecenderungan manusia untuk mengeksploitasi alam pada dasarnya merupakan dampak dari modernisme. Semakin berkembang dan canggih ilmu pengetahuan serta teknologi modern, hasrat mengeksploitasi alam pun kian mudah dengan dalih memanfaatkan alam. Mereka seakan tak memedulikan dampak yang ditimbulkan akibat keserakahan nafsu semata.
Maka tidaklah mengherankan, jika Sayyed Hossein Nasr intelektual Muslim Teheran, Iran mengajukan gugatan atau kritik cukup tajam terhadap modernisme. Di dalam bukunya Islam dan Krisis Lingkungan, Nasr menyatakan bahwa merebaknya krisis lingkungan disebabkan oleh penolakan manusia modern untuk melihat Tuhan sebagai “lingkungan” nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Manusia modern, demikian Nasr cenderung memandang lingkungan alam sebagai sebuah tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, dan terpisah dari lingkungan Ilahiyah (Tuhan) yang tanpa kekuasaan-Nya lingkungan dapat dengan mudah menjadi mati.
Saking memprihatinkan kondisi lingkungan akibat sumber daya alamnya seringkali dieksploitasi manusia, Syekh Yusuf Al-Qardhawi seorang cendekiawan Muslim dan sekaligus Mujtahid di era kontemporer asal Mesir dalam mukadimah bukunya bertajuk Islam Agama Ramah Lingkungan, menyatakan dengan nada penuh kekecewaan serta penyesalan bahwa:
“Seandainya lingkungan mempunyai pendengaran dan mulut untuk berbicara, akan terdengarlah teriakan-teriakan histeris dari terbakarnya ozon, yang diiringi dengan rintihan air di sepanjang sungai dan lautan karena terisi oleh percikan-percikan minyak, dan sekaratnya udara yang tercekik oleh gas-gas mati, dari industri-industri, peluru-peluru, di seluruh belahan bumi ini”.