Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan dilaksanakan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang memang masih dua tahun lagi. Namun percaturan politik di Indonesia sudah mulai panas. Bahkan ada sebuah kelompok yang telah mendeklarasikan salah satu calon di Jakarta beberapa waktu lalu. Deklarasi itu sempat ramai, karena munculnya politik identitas atas nama agama dengan keberadaan bendera dari organisasi terlarang di Indonesia.
Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), H. Imam Pituduh, SH. MM, menyebut politik identitas terutama praktik politisasi agama merupakan bahaya laten yang perlu diwaspadai bersama terutama menjelang momentum politik. Karena dapat menjadi akselerator bagi rontoknya konstruksi sosial yang melahirkan konflik horisontal berkepanjangan.
“Bahaya laten politisasi agama perlu kita waspadai bersama-sama. Karena politik identitas dan agama yang dipolitisir, adalah formula yang sangat mudah untuk melakukan radikalisasi dan penyesatan masyarakat,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ia melanjutkan, sikap pembiaran terhadap politisasi agama dan politik identitas justru membuka lebar-lebar bagi berkembangnya permainan semu (shadow game) yang menjajah cara berfikir masyarakat. Juga seakan-akan adalah hal yang lumrah, sehingga praktik yang demikian juga digunakan oleh oknum berkepentingan sebagai komoditas yang menjanjikan.
“Politik yang dibungkus agama selalu menjadi komoditas yang favorit untuk diperdagangkan di masyarakat yang mayoritas religius. Dalil-dalil agama selalu dijadikan justifikasi untuk mengambil langkah-langkah politik bagi mereka yang menjajakan politik identitas dan menggoreng agama sebagai komoditas,” tutur pria yang kerap disapa Gus Imam ini.
Tidak hanya itu, sutradari film “Super Santri: Konspirasi Menguasai Negeri” ini juga melihat, praktik politik identitas kian diperparah pasca perubahan kehidupan sosial masyarakat yang lekat dengan media sosial, Serangan dan bombardir isu politisasi agama dan ideologisasi radikal juga bergerak massif melalui jalur online.
“Para buzzer dan robot kelompok radikal, selalu berusaha bergerak secara massif menguasai jalur digital. Mereka menggunakan Neuroscience untuk membidik dan mempengaruhi anak muda dan para pemilih mayoritas, agar dapat dipengaruhi, diinfiltrasi dan dikendalikan alam bawah sadar dan lifestyle masyarakat,” jelasnya.
Guna mewaspadai dan mempersiapkan masyarakat dari maraknya isu politik identitas kedepannya, Imam menilai perlu digelolarakan pemahaman terhadap isu politisisasi agama dan wawasan kebangsaan. Itu penting agar masyarakat memiliki imunitas dan daya dobrak untuk melawan segala bentuk ideologisasi radikal dan politisasi agama yang seiring sejalan.