Tengku Fakinah adalah salah seorang ulama perempuan, pendidik, dan sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia asal Lam Beunot Mukim Lam Krak, Aceh, yang lahir pada tahun 1856 dari pasangan Tengku Datuk dan Cut Fatimah. Karier intelektualnya diperoleh secara langsung dari keluarganya. Fakinah kecil dididik oleh kedua orang tuanya dengan penuh kesungguhan dan kedisiplinan.
Menarik, Fakinah kecil tak hanya belajar tentang ilmu-ilmu keagamaan seperti, baca-tulis Arab, Al-Quran, fikih, tasawuf, akhlak, tafsir, hadis, dan lain-lain. Tetapi juga diajari keterampilan wanita lainnya; jahit-menjahit, membuat kerawang sutera, dan kasab. Ketika memasuki usia remaja, Fakinah sudah menjadi sosok perempuan yang ahli kerawang, selain juga alim di bidang ilmu keagamaan. Saking alimnya, maka tidak heran jika rekan-rekan dan masyarakat sekitar menjuluki Fakinah dengan sebutan Tengku Faki atau Tengku Fakinah.
Pada tahun 1872 dan usia Tengku Fakinah sudah dewasa, ia kemudian dinikahkan dengan seorang laki-laki bernama Tengku Ahmad dari daerah Aneuk Glee, Indrapuri. Karena adat perkawinan di Aceh berpola matrilokal (suami harus bertempat tinggal di rumah keluarga istri), maka Tengku Ahmad pun berdomisili di kampung istrinya, Lam Beunot. Dan, masyarakat sekitar memanggil suami Tengku Fakinah dengan penuh kehormatan, yaitu Tengku Aneuk Glee.
Setelah menikah, Tengku Fakinah memulai kiprahnya dalam dunia pendidikan dengan membangun Dayah (lembaga pendidikan untuk agama Islam) di desa Lam Beunot. Ia bersama suaminya, Tengku Aneuk Glee mengembangkan Dayah tersebut dengan dibiayai oleh mertuanya, Tengku Datuk yang diberi nama Dayah Lamdiran. Perkembangan Dayah ini begitu pesat. Murid-muridnya tidak hanya berasal dari daerah Lam Beunot, melainkan dari luar.
Pada mulanya yang mengajar di Dayah ini hanya dua orang, yaitu Tengku Fakinah dan suaminya. Murid laki-laki diampuh oleh Tengku Aneuk Glee, sementara perempuan dididik langsung Tengku Fakinah. Selain mengajarkan ilmu keagamaan, Tengku Fakinah juga mengajarkan tentang keterampilan seperti membuat kerawang dan jahit-menjahit sebagaimana pernah diajarkan kedua orang tuanya.
Namun, keharmonisan dan romantisme rumah tangga Tengku Fakinah bersama suaminya tampaknya tidak berjalan mulus sebagaimana yang didambakan. Pada tahun 1873, ketika kolonialisme Belanda melakukan ekspedisi pertama ke daerah Aceh, maka Tengku Aneuk Glee suami Tengku Fakinah tewas dalam satu peperangan tatkala menghadang laju pergerakan dari para penjajah Belanda di Aceh.
Kondisi pahit yang dialami Tengku Fakinah dengan statusnya sebagai janda, ia kemudian memutuskan dan memusatkan kiprahnya untuk berjuang dalam mengusir penjajah Belanda. Salah satu terobosan Tengku Fakinah untuk melawan kolonial Belanda, adalah dengan membentuk organisasi bernama Badan Amal Sosial. Yakni suatu perkumpulan atau kelompok yang beranggotakan perempuan terutama para janda. Salah satu aktivitasnya adalah mengumpulkan perbekalan dari masyarakat berupa padi, uang, dan bahkan sebagian anggotanya menjadi juru masak.