“Meskipun pada dasarnya semua argumentasi keagamaan kembali kepada al-Qur’an berikut Sunnah, namun harus diakui bahwa tidak setiap orang mampu untuk langsung dan hanya kembali kepada al-Quran, memahami dan mengambil hukum secara tekstual darinya.”
Al-Quran berikut Sunnah adalah sumber dari segala sumber hukum yang ada dalam ajaran Islam. Karena itu, keduanya, terutama al-Quran yang memang secara redaksional bersifat absolut, merupakan timbangan yang kepadanya perbedaan pendapat di antara umat Islam harus dirujuk dan untuk diselesaikan. Dalam konteks Indonesia, dalam batas tertentu, al-Quran rakyat Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.
Semua undang-undang dan peraturan yang ada di negara ini memang lahir dan merupakan penjabaran darinya sehingga juga harus menjiwai dan dijiwai oleh makna yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Para hakim dalam mahkamah konstitusi berikut sekian macam pengadilan yang ada pada dasarnya adalah para mujtahid dalam bidang hukum ketatanegaraan.
Sebagaimana tidak semua rakyat Indonesia mempunyai kapasitas dan karenanya berhak menjadi seorang hakim, maka tidak setiap Muslim juga lantas mengklaim dengan begitu mudah sebagai seorang mujtahid. Apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa meskipun pada dasarnya semua argumentasi keagamaan kembali kepada al-Qur’an berikut Sunnah, namun harus diakui bahwa tidak setiap orang mampu untuk langsung dan hanya kembali kepada al-Quran, memahami dan mengambil hukum secara tekstual darinya.
Semangat kembali itu memang sebuah kemutlakan; namun yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana dan apa saja tahapan untuk dalam proses kembali tersebut. Tahapan ini perlu sebab kenyataannya, dalam al-Quran tidak dijumpai penjelasan mendetail tentang shalat, zakat, dan haji – sebagai contoh. Dalam konteks Hadits pun, penjelasan tentang kontekstualisasi amalan utama sebagaimana disebutkan di atas baru diungkap dengan terang dan tertulis oleh para ulama setelahnya. Pada titik ini, diperlukan para agen intelektual yang mampu memformulasikan definisi, mekanisme, dan aturan dalam proses kembali tersebut.
Karena itu, wajar jika pekerjaan ekstraksi hukum tersebut diserahkan kepada ahlinya. Sebab, jika diserahkan kepada yang bukan ahlinya, hasil racikan baru tersebut boleh jadi tidak akan menyembuhkan persoalan yang ada, atau bahkan bisa jadi menambah persoalan baru. Dalam konteks ilustrasi al-Ghazali di atas, jika tidak berasal dari dokter yang kompeten, obat yang diberikan kepada pasien bukan saja tidak menyembuhkannya, namun bahkan bisa saja membunuhnya.
Itulah mengapa kemudian dalam al-Quran, sebagaimana disebutkan Prof Dr Hamdani Anwar, seorang ahli tafsir dari Institut PTIQ Jakarta, ditemukan setidaknya tiga tahapan dalam proses kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Hal ini setidaknya dapat dilihat melalui keberadaan dua pola ayat ketaatan; athi‘ullah wa athi‘urrasul wa uli al-amri minkum (taatlah kamu semua kepada Allah Swt dan taatlah kamu semua kepada Rasul-Nya dan para pemimpin di antara kamu) (al-Nisa’ 59) dan athi’ullah wa al-rasul (taatlah kamu semua kepada Allah Swt dan Rasul-Nya) (Ali Imran 132).
Pada ayat yang pertama, perintah taat (athi’u) diulang dua kali yaitu kepada Allah Swt dan Rasul-Nya; sementara pada yang kedua, perintah tersebut hanya disebutkan sekali meski implikasi perintahnya tetap disandarkan baik kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Ini bukan sebuah kelebihan kata yang terjadi secara kebetulan; namun justru menunjukkan betapa teliti dan bernas (i’jaz lughawi) penggunaan setiap kata dalam al-Qur’an.
Melalui penelaahan yang mendalam, lanjut Hamdani, dapat diketahui bahwa fenomena linguistik tersebut menunjukkan setidaknya dua jenis tugas – dalam konteks ini – Rasulullah Saw. Pertama, sebagai pembuat dan pemerinci hukum yang ada dalam al-Quran, yang ditunjukkan dengan disandarkannya perintah athi‘u langsung sebelum kata al-rasul. Kedua, sebagai sekedar penyampai apa yang telah ditetapkan Allah Swt yang ditunjukkan dengan diletakkannya athi‘u sebelum kata Allah dan baru setelahnya dan juga sebelum al-rasul hadir huruf sambung waw (harf al-‘athf).
Menariknya lagi, dalam ayat ketaatan di atas, frase uli al-amr yang bermakna pemerintah atau pemimpin tidak pernah disandari secara langsung oleh redaksi athi’u. Implikasinya, terang Hamdani, bahwa taat kepada pemimpin itu dilakukan jika mereka berperilaku sesuai ajaran Rasulullah Saw.