Pesantren adalah salah satu mitra terdepan pemerintah untuk menyebarkan luaskan moderasi beragama dan wawasan kebangsaan untuk melawan penyebaran virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Untuk itu, kalangan pesantren harus menjadikan momentum Hari Santri Nasional (HSN), 22 Oktober 2022, untuk kembali menggelorakan resolusi jihad fii sabilillah melawan kelompok yang ingin merusak persatuan dan kedamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ini momentum besar dari peristiwa sejarah masa lalu yang tidak bisa dipisahkan perjuangan NKRI. Sejatinya waktu itu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kita tahu terjadi agresi militer oleh tentara asing, tentara Belanda. Sampailah pada tanggal 22 Agustus 1945, lahir fatwa tokoh ulama dan Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari untuk resolusi jihad fii sabilillah melawan penjajahan, musuh negara,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, MH, di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (20/10/2022).
Pernyataan itu diucapkan Kepala BNPT saat menghadiri seminar nasional kebangsaan kerja sama BNPT dengan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Kalimantan Barat (Kalbar) di Pontianak. Seminar ini digelar dalam rangka peringatan HSN 2022.
Boy Rafli mengungkapkan, bawha resolusi jihad fii sabilillah meruakan pembelajaran penting bagi bangsa Indonesia, khususnya para santri dalam membela tanah air bersama seluruh komponen masyarakat waktu itu.
“Kalau dulu musuh kita kelihatan, tapi har ini musuh kita berupa virus intoleransi, radikal teroisme yang mempengaruhi anak bangsa kita untuk memusuhi bangsanya sendiri,” imbuh Boy Rafli.
Bedanya, lanjut Kepala BNPT, ancaman virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme ini harus dijadikan kewaspadaan bersama. Pasalnya, virus tersebut telah berkembang menjadi ideologi terorisme global yang tidak hanya terjadi Indonesia, tapi juga belahan dunia.
Ia mengungkapkan, lebih dari 120 negara telah terpapar virus tersebut. Artinya, virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme itu seperti virus Covid-19.
“Kalau Covid-19, hari ini pandemi sudah mulai mereda setelah imunitas bangsa kita semakin bagus. Sudah ada vaksinnya, sehingga kita kebal. Tapi virus intoleransi, radikalisme, teroisme ini sulit untuk diprediksi berapa tahun akan hilang dari muka bumi. Dia akan berus berkembang biak mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,”
Boy Rafli mengungkapkan bahwa ideologi terorisme yang dikembangkan adalah sebuah pemahaman, ide, gagasan berbasis kekerasan yang berlandaskan keyakinan tertentu dan memilki tujuan politik. Kemudian dengan fenomena itu, BNPT mencoba menarik menyimpulkan beberapa karakteristik ideologi terorisme tersebut. Pertama anti-konstitusi negara UUD 1945dan anti-ideologi negara Pancasila.
“Menurut mereka konstitusi itu haram, thogut, dan kelompok kafir. Padahal itu legacy peninggalan leluhur bangsa yang berbasis identitas dan jatidiri bangsa kita. Mereka tidak setuju dengan ini, harus diganti dan tidak perlu dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur mantan Kapolda Banten ini.
Kedua lanjutnya bersifat transnasional dimana ideologi datang ke Indonesia dengan maksud dan tujuan tertentu yaitu menimbulkan instabilitas agar ide politik mereka terpenuhi dan diikuti masyarakat Indonesia yang beragam terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras. Menurutnya, ideologi transnasional, bukan berakar dari budaya bangsa Indonesia. Dia adalah idelogi berbasis kebencian, sengaja dikembangkan oleh orang yang ingin melanjutkan konflik di muka bumi.