Kamis, Agustus 21, 2025
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Kajian
Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (2)

Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (2)

Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (2)

Modernisasi Pendidikan dan Pesantren

Azyumardi Azra by Azyumardi Azra
31/10/2022
in Kajian, Tajuk Utama
9 1
0
10
SHARES
197
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui, tidak bersumber dari kalangan kaum Muslim sendiri. Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Ini bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paruh kedua abad ke-19 untuk mendapatkan pendidikan. Program ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 siswa. 

Tetapi sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya, cukup mengecewakan Bagi pemerintah Belanda; sekolah desa ini tidak berhasil mencapai tujuan seperti yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Di sisi lain kalangan pribumi, khususnya di Jawa terdapat resistansi yang kuat terhadap sekolah-sekolah ini, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk “membelandakan” anak-anak mereka. Respon yang relatif baik —untuk tidak mengatakan antusias— terhadap sekolah desa ini justru rnuncul di Minangkabau, sehingga banyak surau —yang merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam— yang ditransformasikan secara formal menjadi sekolah-sekolah nagari. Sekolah- sekolah nagari yang semula merupakan surau tersebut, ternyata tidak sepenuhnya mengikuti kurikulum yang digariskan pemerintah Belanda, sehingga mendorong Belanda untuk melakukan standardisasi kurikulum, metode pengajaran dan lain-lain. 

BacaJuga

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

Poin penting dalam eksperimen Belanda dengan sekolah desa atau sekolah nagari sejauh dalam kaitannya dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, adalah transformasi sebagian surau di Minangkabau menjadi sekolah nagari model Belanda. Memang, berbeda dengan masyarakat Muslim di Jawa umumnya yang memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyarakat Muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa. Perbedaan respon di antara masyarakat Jawa dengan Minangkabau ini banyak berkaitan dengan watak kultural yang relatif berbeda di antara kedua masyarakat ini, dan juga berkaitan dengan pengalaman historis yang relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda. 

Selain mendapatkan tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional lslam juga harus berhadapan dengan sistem pendimodern Islam. Dalam konteks pesantren, tantangan pertama datang dari sistem pendidikan Belanda sebagaimana dikemukakan di atas. Bagi para eksponen sistem pendidikan Belanda, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan atau setidaknya, ditransformasikan sehingga mampu mengantarkan kaum Muslim ke gerbang rasionalitas dan kemajuan. Jika pesantren dipertahankan, menurut Takdir, berarti mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum Muslim. Tetapi, sehagaimana kita ketahui, pesantren tetap bertahan dalam kesendiriannya. 

Respon dari Surau dan Pesantren

Tantangan yang lebih merangsang pesantren untuk memberikan responnya, justru datang dari kaum reformis atau modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20 berpendapat, bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme dan Kristen diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam. Dalam konteks inilah kita menyaksikan munculnya dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam; pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; kedua madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Dalam bentuk pertama, kita bisa menyebut, misalnya Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909, dan sekolah-sekolah umum model Belanda (tetapi met de Qur’an) yang didirikan organisasi semacam Muhammadiyah. Sedangkan pada bentuk kedua kita menemukan “Sekolah Diniyah” Zainuddin Labay al-Yunusi, atau Sumatera Thawalib, atau madrasah yang didirikan al-Jamitatul al- Khairiyah, dan kemudian juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad. 

Bagaimanakah respon sistem pendidikan tradisional Islam, seperti surau (Minangkabau) dan pesantren (Jawa) terhadap kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam ini? Karel Steenbrink dalam konteks surau tradisional menyebutnya sebagai “menolak sambil mengikuti”, dan dalam konteks pesantren menyebutnya sebagai “menolak dan mencontoh”. Sembari menolak beberapa pandangan dunia kaum reformis, kaum tradisi di Minangkabau memandang ekspansi sistem dan kelembagaan pendidikan modern Islam sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi dan kelangsungan surau. Untuk itu, dalam pandangan mereka, surau harus mengadopsi pula beberapa unsur pendidikan modern— yang telah diterapkan kaum reformis—kbususnya sistem klasikal dan penjenjangan. Tetapi penting dicatat, adopsi ini dilakukan tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri. 

Respon yang hampir sama juga diberikan pesantren di Jawa. Seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga — kecuali dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal. 

Baca Juga: Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (1)

Dalam kaitan ini, Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam. Pesantren Mambaul Ulum yang didirikan Susuhunan oleh Pakubuwono pada tahun 1906 ini merupakan perintis bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Menurut laporan inspeksi pendidikan Belanda pada tahun tersebut, Pesantren Mambaul Ulum telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan Latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. 

Rintisan Pesantren Mambaul Ulum ini kemudian diikuti beberapa pesantren lain. Pesantren Tebuireng misalnya, pada tahun 1916 mendirikan sebuah “Madrasah Salafiyah” yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan boberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf Latin ke dalam kurikulumnya. Model ini kemudian diikuti banyak pesantren lainnya. Salah satu yang terpenting adalah Pesantren Rejoso di Jombang, yang mendirikan sebuah madrasah pada tahun 1927. Madrasah ini juga memperkenalkan mata-mata pelajaran non-keagamaan dalam kurikulumnya. 

Respon yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor. Berpijak pada basiis sistem dan kelembagaan pesantren, pada tahun 1926 berdirilah Pondok. Modern Gontor. Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris —selain bahasa Arab— dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra-kurikuler seperti olahraga dan kesenian. 

Bahkan sejumlah pesantren bergerak lebih maju lagi. Berkaitan dengan gagasan tentang “kemandirian” santri setelah menyelesaikan pendidikan .mereka di pesantren, beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan atau latihan keterampilan (vocational) dalam sistem pendidikan mereka. Salah satu organisasi Islam yang memberi penekanan khusus pada aspek vocational ini adalah organisasi Persarekatan Ulama di Jawa Barat. Organisasi ini mendirikan sebuah lembaga pada tahun 1932 atas basis kelembagaan pesantren yang kemudian disebutnya sebagai “Santi Asrama”. Haji Abdul Halim yang merupakan pendiri Persarekatan Ulama memperkenalkan pemberian latihan ketrampilan bagi para santri. 

Deskripsi singkat di atas sedikit banyak menjelaskan bagaimana respon pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya. Dalam menghadapi semua perubahan dan tantangan itu, para eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya, tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati- hati (cautious policy); mereka menerima pembaruan (atau modernisasi) pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas; sebatas mampu menjamin pesantren bisa tetap survive. 

Pengalaman pesantren dalam memberikan responnya pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan lagi-lagi memperlihatkan kealotan pesantren. Pada periode ini pesantren menghadapi tantangan lebih berat lagi. Khususnya disebabkan adanya ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern. Kaum Muslim sekarang ini umumnya memiliki semakin banyak pilihan dalam mencarikan pendidikan buat anak- anak mereka: ada sekolah-sekolah umum, sekolah-sekolah Islam (seperti yang dikelola Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lainnya), ada pula madrasah-madrasah, dan tentu saja, pesantren itu sendiri. Dampak yang paling jelas dari perkembangan ini adalah stagnasi, jika tidak kemerosotan jumlah para santri di pesantren-pesantren pada umumnya. Tetapi kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, membuat pendidikan pesantren yang amat murah itu kelihatannya menjadi alternatif terbaik kagi banyak kalangan Muslim miskin di banyak wilayah pedesaan Jawa. 

Namun penting dikemukakan, bahwa di sisi lain, jumlah santri di pesantren-pesantren besar terus mengalami pertambahan yang konstan. Pesantren-pesantren besar ini semakin banyak menarik santri, tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa. Termasuk di antara pesantren yang mengalami perkembangan semacam ini adalah Pesantren Tebuireng, Pesantren Lirboyo, Pesantren Tambakberas, dan Pondok Modern Gontor. Dalam penelitiannya pada tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren, dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja, pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren adalah sekitar 32.000 buah dengan sekitar 2 juta santri. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi, meski berada di bawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya. 

Mirip dengan pesantren pada masa kolonial, pesantren di masa kemerdekaan juga memberikan respon terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikan mereka. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini: pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum; kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. 

Page 1 of 2
12Next
Tags: MadrasahModernisasi Pendidikan Pesantrenperan pesantrenPesantrenSurau
Previous Post

Sumpah “Hijrah” Pemuda

Next Post

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 049

Azyumardi Azra

Azyumardi Azra

RelatedPosts

dekonstruksi di era digital
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

26/07/2025
Peran Media Sosial Dalam Mewujudkan Siswa Toleran
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

22/07/2025
edisi desember 2024
Bulletin

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

25/12/2024
Yang Penting Bukan Pengangguran
Kolom

Yang Penting (BUKAN) Pengangguran

04/12/2024
Islamina Edisi November 2024
Bulletin

Menghidupkan Kesyahidan Pahlawan

18/11/2024
Bulletin edisi oktober
Bulletin Islamina

Jihad Santri di Abad Digital

11/10/2024
Next Post
Bulletin Jum'at Al-Wasathy Edisi 49

Bulletin Jum'at Al-Wasathy | Edisi 049

peran perempuan dalam melawan gerakan radikalisme

Peran Perempuan dalam Melawan Gerakan Radikalisme

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

hukum alam

Hukum Alam Adalah Hukum Tuhan: Apakah Mukjizat Mengingkari Sebab-Akibat

21/08/2025
Membantah Pernyataan Zulkarnain Yusuf Tentang “indonesia Negara Kafir”

Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Iman

15/08/2025
teologi kemerdekaan

Al-Baqarah : 177 – Peta Jalan Teologi Kemerdekaan dalam Islam

15/08/2025
kerusakan alam

Ketika Alam Tak Lagi Sakral: Ikhtiar Membangun Eko-Teologi dari Kritik Jantung Peradaban

02/08/2025
kurt godel

Ketika Tuhan Dibuktikan Tidak dengan Keimanan Buta, Tetapi dengan Logika: Kurt Gödel dan Rumus Ketuhanan

27/07/2025

Trending Artikel

  • Ulama Scaled

    Mengenal Istilah Rabbani

    319 shares
    Share 128 Tweet 80
  • 4 Penghalang Ibadah Kepada Allah Menurut Imam Al-Ghazali 

    298 shares
    Share 119 Tweet 75
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    264 shares
    Share 106 Tweet 66
  • Kitab Tajul ‘Arus: Makna Pengorbanan dan Obat Penyakit Hati

    256 shares
    Share 102 Tweet 64
  • Kitab “Majmû’ Fatâwâ” Karya Ibnu Taimiyah (1)

    248 shares
    Share 99 Tweet 62
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.