Gerakan radikalisme merupakan sebuah pemikiran yang tidak didasari pada sebuah konsep pemahaman yang utuh dan cenderung fanatik kepada satu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain, abai terhadap historisitas Islam, tidak dialogis dan harfiah dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan tujuan esensial syariat. Terkait hal ini, Kiai Said berpesan, “Radikalisme bertentangan dengan agama apa pun. Islam itu damai, taslim selamat, nggak ada Islam itu mengebom, tidak bisa ditangani sendirian, kalau kita civil society, fokus masyarakat, dan kita menetralisir deradikalisasi.”
Lalu, dimana letak perempuan dalam melawan gerakan radikalisme ini. Kiranya, kita perlu memetakan peran perempuan sebagai simbol perlawanan. Dahulu perempuan dapat dijadikan sebagai pengatur strategi pertempuran, akan tetapi pada saat ini hal tersebut sulit dan bisa dikatakan tidak relevan dengan zaman. Solusinya ialah dengan kita bicarakan bagaimana perempuan menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap pemikiran radikalisme melalui sistem pendidikan dan kebudayaan yang dibangun. Kalau pepatah Arab berkata; al-Umm hiya madrasatul ula (ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya). Maka, perempuan adalah garda terdepan yang dapat mendidik dan membentuk budaya baik kepada anak biologis dan ideologisnya agar tidak ikut paham radikalisme.
Karena paham radikalisme ini yang nantinya akan melahirkan aksi terorisme (embrio terorisme) lebih banyak memengaruhi masyarakat yang pemahaman ideologi agama dan kebangsaannya tidak utuh. Bahkan hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk membuat mereka dapat terpengaruh oleh paham ini. Parahnya bisa saja satu jam kemudian mereka melakukan aksi bom bunuh diri atau tindakan kekerasan. Rentan sekali masyarakat awam yang belum matang psikologisnya dalam segi apapun untuk disusupi paham radikalisme ini.
Kekuatan Sifat Lembut
Amar (2011) menyatakan bahwa sifat keibuan yang dilekatkan pada perempuan secara sosiologis membuat perempuan memiliki kemampuan sosial yang barangkali tidak dimiliki oleh laki-laki. Kemampuan tersebut seperti sifat-sifat kognitif yang dimiliki perempuan saat mendeteksi perilaku menyimpang. Meskipun dalam sebuah kajian gender, perspektif feminitas lebih mengarah kepada justifikasi atas adanya budaya patriarki yang lebih mengunggulkan kekuatan fisik laki-laki namun rendah dalam perasaan (maskulinitas negatif). Serta adanya pengakuan akan limitasi fisik perempuan serta kekuatan perasaan mereka (feminitas positif). Tetapi, dalam deradikalisasi melawan adanya kekerasan, pandangan feminitas negatif dapat dipergunakan, karena perempuan dipandang mempunyai pendekatan yang lebih lembut dan sebagai komplemen penyempurna aksi laki-laki.”