Tempo hari, sejumlah group Whatsapp Dosen Pendidikan Agama Islam sempat dihebohkan oleh cuplikan berita Setyono Darmono yang berisi tentang tidak perlunya pendidikan agama di sekolah. Karuan saja, para dosen langsung melontarkan kritik secara tajam.
Tak lama setelah itu, muncul juga pernyataan Menteri Agama bahwa tidak ada rencana penghapusan pendidikan agama. Bahkan, Setyono Darmono pun memberikan klarifikasi bahwa berita tersebut disalahtafsirkan. Sebaliknya, pendidikan agama yang diusulkan, menurutnya, justru harus diperkuat melalui penguatan pendidikan karakter.
Dan ini bukan kali pertama muncul cuplikan berita yang bernada provokatif “penghapusan pendidikan agama”. Sebelumnya, saat ide full-day school dihembuskan oleh Kemendikbud, muncul juga berita serupa; bahwa kemendikbud akan menghapus pendidikan agama di sekolah dan mengembalikannya kepada pemangku pendidikan agama seperti madrasah, gereja dan lain sebagainya.
Terhadap hal ini, ada dua hal yang bisa direfleksikan. Pertama, betapa kita sangat mudah terprovokasi berita tentang peniadaan pendidikan agama di sekolah. Tanpa perlu membaca berita secara menyeluruh, emosi kita segera naik ketika membaca sejumlah judul provokatif. Tentunya, ini juga berlaku terhadap isu-isu lain yang dibungkus dengan judul berita yang provokatif.
Kedua, dalam pengertian yang lebih mendalam, tidak sedikit di antara kita yang mempertanyakan perihal urgensi, manfaat dan tujuan pendidikan agama di sekolah. Sejumlah pertanyaan kemudian menyeruak: apakah pendidikan agama berkontribusi terhadap pembentukan pribadi yang bertaqwa sebagaimana yang dicita-citakan oleh UU? Apakah pendidikan agama berhasil membentuk kesalehan individual dan sosial yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan bangsa?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting dihadirkan untuk direfleksikan, karena pendidikan agama sejatinya bukan hanya untuk membekali siswa dengan hafalan-hafalan doktrin agama, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengimplementasikan ajaran-ajaran tersebut baik sebagai individu maupun sebagai warga negara.
Problem Pendidikan Agama
Sejauh ini, pendidikan agama secara nasional dihadapkan pada sejumlah persoalan. Pertama, secara materi, pendidikan agama kita mengalami tumpang tindih antar masing-masing tingkat pendidikan. Apa yang diajarkan di sekolah menengah seringkali hanya berupa bersifat repetisi sekolah dasar. Begitu seterusnya.
Kedua, bersifat doktriner. Sependek amatan penulis, pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi lebih menitikberatkan pada rumusan-rumusan doktrinal agama. Siswa diminta untuk menghafal sejumlah ketentuan ajaran islam, seperti rukun iman, rukun islam, syarat-rukun sholat dan haji, serta hafalan terhadap sejumlah teks agama, mulai dari ayat al-Qur’an sampai pada hadist. Kajian yang lebih filosofis dan bermakna jarang disentuh oleh para pendidik. Dengan hafalan ayat dan hadist yang dimiliki siswa, guru sudah merasa bahwa tujuan pendidikan agama Islam sudah tercapai.