Berkiprah di tengah-tengah masyarakat tentu menuai banyak ujian dan cobaan. Kesabaran diuji dengan segala lika-liku setiap lini kehidupan. Tak sedikit yang gagal karena merasa tak mampu dalam berjuang, namun tak sedikit pula yang sukses dalam menghadapi berbagai tantangan. Hanya orang-orang pilihan yang mampu menghadapi dahsyatnya badai dan terjangan ombak kehidupan, salah satunya adalah KH Noer Muhammad Iskandar (Abah Noer), kiai kelahiran Banyuwangi yang berkiprah di ibu kota dan mendirikan pesantren sebanyak 12 cabang.
Banyak gejolak yang mewarnai perjuangan Abah Noer dalam membangun pesantren, khususnya di tengah-tengah ibu kota. Tak hanya dari problem ekonomi, ia juga harus berhadapan dengan banyak orang yang tak suka dalam pencapaian dakwahnya. Lantas bagaimana kesabaran yang beliau torehkan dalam menghadapi ragam ujian dalam berdakwah.
Tantangan Ekonomi di Jakarta
Seminggu setelah melangsungkan pernikahan dengan Bu Nyai Hj. Siti Nur Jazilah, Abah harus kembali memulai perjuangan dakwahnya ke kota Jakarta. Tanpa persiapan yang matang, ia memberanikan diri melangkah guna menjalankan amanah dari gurunya, Kiai Mahrus Ali. Dalam usia pernikahan saja masih seusia jagung (baru beberapa hari), ia diuji dengan problem ekonomi. Jangankan tempat tinggal, untuk makan saja belum jelas ke mana arahnya. Untuk tempat tinggal, Abah harus berpindah dari rumah satu teman ke teman yang lain, dengan alasan memperkenalkan istrinya.
Rasa sedih pasti menyelimuti hati Abah, apalagi yang harus ikut menanggung semua ujian dakwah adalah istri yang ia cintai. Namun berkat kesabaran dan keteguhan hati, Abah dan istrinya mampu melewati setapak demi setapak jalan licin yang ada. Menurut penuturan Ust. Thahirin, salah satu santri yang sangat dekat dengan beliau, saat pertama kali menapakkan kaki ke Jakarta, Abah sama sekali tidak membawa apa-apa dari Banyuwangi. Sehingga ekonomi yang dibangunnya benar-benar dari nol. Bahkan saat mulai mendapatkan kepercayaan masyarakat, ia dahulukan untuk keperluan pesantren yang didirikannya.
Saat ingin melakukan rekaman ceramah di salah satu stasiun radio saja, Abah harus meminjam motor orang lain sebagai alat transportasi, karena saat itu memang ia tak punya kendaraan.
Diminta Keluar Setelah Mendapat Kepercayaan Masyarakat
Setelah Yayasan al-Mukhlisin di Pluit (yayasan yang menjadi awal pijakan Abah sebelum mendirikan Pesantren Asshiddiqiyah), Abah mulai mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan memperoleh bantuan dari berbagai donatur, tiba-tiba Abah Noer diminta keluar dari yayasan secara sepihak. Alasannya, karena Abah yang lulusan pesantren dinilai kurang cakap dalam membangun sebuah organisasi, apalagi sebuah lembaga pendidikan. Hal tersebut membuat hatinya terluka. Bagaimana tidak, perjuangan yang Abah mulai dari nol kini dirampas begitu saja. Memang begitu tega. Tapi beliau tetap bersabar, ikhlas dan selalu mencoba membuka diri dan yakin bahwa Allah akan selalu bersama hamba-hambanya yang berjalan dalam kebenaran.
Abah bertekad kuat, kelak ia pasti mampu membangun sebuah lembaga pendidikan yang besar. “Kalian sudah saya berikan modal bangunan masjid, gedung sekolah dan jaringan murid. Sementara saya akan memulai semuanya dari nol, berbekal semangat dan keyakinan, kelak kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih berhasil,” tutur Abah Noer.
Dituduh sebagai Agen Syiah