Kita tahu bahwa batik merupakan warisan asli atau budaya dari Indonesia. Akan tetapi, jika dilihat dari aspek filosofis dan sosiologis, batik menjadi bagian dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Dan bagaimana perkembangannya dalam memperjuangkan batik sebagai budaya asli serta agar diakui oleh UNESCO.
Asal muasal batik masih menjadi perdebatan. Sekitar tahun 1677, Nusantara menjadi jalur perdagangan yang meliputi Cina, Jawa, Sumatra, Hindustan, dan Persia. Beberapa catatan juga tertulis terkait ekspor batik dari pulau Jawa ke Malabar (1516 M – 1518 M). Catatan itu juga menggambarkan bahwa kain-kain yang sudah diproses (warna) indah dinamakan dengan batik klasik atau batik murni (Iskandar & Eny, 2016).
Secara etimologi, kata “Batik”, berasal dari bahasa Jawa, “amba” yang berarti tulis, dan “nitik” yang berarti titik. Yang dimaksud adalah menulis dengan lilin. Membatik diatas kain menggunakan canting yang ujungnya kecil memberi kesan “orang sedang menulis titik-titik”. Kata “batik” juga merujuk pada kain bercorak dari hasil output bahan malam (wax), kemudian diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (Sularso dkk, 2009).
Banyak sumber juga mengaitkan batik telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Saat itu batik masih menjadi pakaian raja, keluarga, dan para pengikutnya saja. Barulah sekitar akhir abad ke 18 M, batik digunakan secara luas khususnya suku Jawa.
Islam dan Perkembangan Batik
Sony dkk, dalam buku “Batik dan Batikan” membagi sejarah perkembangan batik menjadi empat periode. Periode pertama saat masih pada zaman kekuasaan Majapahit. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kain batik masih dominan hanya dikenakan dalam lingkungan kerajaan. Batik menjadi pakaian kelompok elite saja (Sony dkk, 2016).
Periode kedua, mulai bersentuhan dengan Islam. Yakni ketika keturunan Majapahit, Bathara Kathong mendakwahkan Islam di Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian disusul kehadiran Kyai Hasan Besari (Pesantren Tegalsari) yang tidak hanya sebagai seorang guru agama, melainkan budayawan. Beliaulah yang mengenalkan batik keluar dari mindset pakaian khusus raja. Hasilnya, sekarang ada di beberapa lokasi perbatikan Kauman seperti Kepatihan Wetan, Kadipaten, Setono, Ronowijoyo, Kertosari, Ngunut dan lain-lain (Sony dkk, 2016).
Masuk dalam periode ketiga. Dimana umumnya kita kenal dengan batik Solo dan Yogyakarta. Awalnya dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram ke – I (Panembahan Senopati). Pembuatan batik masih dibatasi hanya dalam lingkungan kerajaan. Ketika ada upacara resmi, seluruh keluarga keraton memakai batik dengan kombinasi lurik.
Di masa penjajahan Belanda, banyak dari keluarga kerajaan mengungsi dan menetap diluar tembok keraton akibat seringnya perang. Mereka menyebar di wilayah-wilayah seperti Banyumas, Pekalongan, Ponorogo, dan Tulungagung.
Kemudian di periode keempat, batik tersebar di berbagai wilayah. Selain Solo dan Yogyakarta, batik juga hadir ditempat-tempat yang masih kita bisa temui hingga saat ini. Sebut saja Banyumas (wilayah Purwokerto dan Cilacap), yang dahulu dikenakan oleh para syuhada’ pasukan Pangeran Diponegoro. Lalu batik tersebar sampai Jawa bagian barat.
Beragam Makna Filosofi
Tidak hanya menawarkan keindahan melalui goresan warna, tetapi ada filosofi tersendiri dari batik yang kita kenakan atau ketahui. Dalam “Sejarah Batik di Jawa Tengah”, ada dua konsepsi yang bisa kita jadikan sumber.