قَالَ أَبُو الدَرْدَاء: لَوْلَا ثَلاَثٌ لَصَلُحَ النَاسُ : هَوَى مُتَّبَعٌ ، وَشُحًّ مُطَاعٌ ، وَإِعْجَابُ المَرْءِ بِنَفْسِهِ
Artinya: Seumpama tidak ada tiga hal ini, niscaya manusia pasti akan rukun, damai, tenteram, bahagia. Yaitu hawa nafsu yang selalu dimanja, sifat pelit yang selalu dipelihara, bangga akan amalnya.
Perkataan Abu Darda’ memaparkan tiga hal yang menjadikan bumi ini menjadi tenteram, yaitu:
Pertama, hawa nafsu yang selalu diumbar, terlalu dimanja, karena memang nafsu suka akan hal-hal yang dimanja, suka kejahatan, keburukan, dan cepat emosian. Misalnya: tetangganya beli avansa, mulutnya berbusa-busa. Sahabatnya beli apartemen pikirannya jadi sentimen. Tetangganya beli kulkas hatinya panas. Saudaranya beli motor hatinya tambah kotor. Temanya naik jabatan sikapnya seperti orang kesetanan.
Kedua, pelit, medit, bakhil, tak hanya materi. Seringkali kita pelit untuk menyapa, untuk memulai salam, bahkan pelit kepada diri sendiri. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I dalam kitab as-Sunan al-Kubra, Nabi bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ. رَوَاهُ النَّسَائِي
Artinya: Rasullah bersabda: orang yang pelit adalah ketika disebut namaku (Nabi) maka ia tak mau membaca shalawat. (H.R Nasa’i).
Hadis diatas menjelaskan bahwa kategori pelit atau bakhil tak hanya dari segi materi saja, namun cakupanya lebih luas, bahkan bershalawat menjadi sangat penting ketika mendengar nama Nabi Muhammad.
Ketiga, ujub atau bangga diri, merasa dirinya orang baik, banyak amal ibadahnya. Padahal belum tentu amalnya diterima, bisa karena kurang syarat dan rukunnya atau bahkan tak mengetahui ilmunya.
Dari penjelasan diatas bisa dipahami bahwa adanya perubahan waktu yang sangat cepat harus ada inovasi dan disikapi dengan bijaksana, serta dikuatkan dengan keimanan agar tak tergelincir dari rel kehidupan sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Artikel ini pernah dimuat di Syahadat.id