Kiai Lutfi Fathullah termasuk yang mengenyam model pendidikan lama yang ada di Betawi. Sehingga prinsip untuk berkelana seperti halnya yang dilakukan oleh para ulama dulu untuk tujuan mencari ilmu juga ia miliki.
Ulama-ulama dulu dalam rangka mencari ilmu harus rela berpisah dengan keluarganya hingga bertahun-tahun lamanya. Mereka baru pulang dan biasanya mendirikan tempat belajar atau pesantren jika sudah merasa ilmu yang mereka dapatkan sudah layak untuk diamalkan (Steenbrik 1974).
Keilmuan dan Dakwah Ahmad Lutfi Fathullah
Soal keilmuan, Kiai Ahmad Lutfi Fathullah lebih sering dikenal sebagai ulama ahli di bidang hadis. Itu karena, materi yang beliau sampaikan lebih sering berkaitan dengan hadis. Namun tidak menafikan jika ulama sekapasitas beliau juga menguasai fan-fan ilmu lain, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an, Tasawuf, dan lain sebagainya.
Pada saat sekolah di Strata Satu di Damaskus, kiai Lutfi Fathullah juga masuk di fakultas Fiqih dan Ushul Fiqih. Dan di sela-sela itu, ia juga menghafal Al-Qur’an dan disetorkan langsung kepada gurunya selepas bakda subuh.
Namun fan-fan keilmuan tersebut tidak muncul karena biasanya untuk kebutuhan akademik. Hal seperti demikian ini umum terjadi. Contoh seperti Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar. Secara akademik lebih dikenal sebagai professor di bidang ilmu syariah dan hadis, sedangkan soal keilmuan sangat mumpuni di bidang tafsir, ilmu tafsir, dan sejenisnya.
Begitu juga dengan kiai Lutfi Fathullah, dengan fan keilmuan yang luas ia mampu berdakwah secara luwes di beberapa tempat dan media. Ini termasuk keunikan yang ia miliki. Karena belum tentu orang yang ilmunya luas dakwahnya juga luwes.
Kiprah tersebut bisa dilihat ia sangat sering berdakwah di banyak tempat, baik akademik maupun majlis taklim hingga beberapa TV. Selain itu juga arif memanfaatkan kemajuan teknologi. Di antara karya jariyahnya yang sangat berguna untuk umat adalah mempelopori digitalisasi kitab-kitab hadis dan membuat perpustakaan Islam digital yang memuat ribuan kitab.