Beberapa cendekiawan dan sejarawan percaya bahwa kemunculan kelompok Khawarij dimulai dengan pemberontakan terhadap Utsman ibn Affan dalam rangkaian peristiwa yang disebut dengan al-Fitnah al-Ula (Kekacauan Pertama) yang berujung pada pembunuhannya. Ibn Katsir menyebut orang-orang yang memberontak terhadap Utsman ibn Affan sebagai golongan Khawarij. Ia berkata, “Orang-orang Khawarij datang dan merampok Baitul Mal yang di dalamnya terdapat banyak harta.”[1]
Sementara, mayoritas ahli fikih sepakat bahwa kemunculan kelompok Khawarij dimulai dengan pemberontakan terhadap Ali ibn Abi Thalib setelah terjadi persoalan tahkîm atau arbitrase antara dirinya dan Muawiyah ibn Abi Sufyan semasa Perang Shiffin pada tahun 37 H. Saat itu posisi ideologis dan pandangan keagamaan kelompok Khawarij mulai menguat, dan semakin menguat dengan munculnya kelompok Muhakkimah dan kemudian gerakan Azariqah, sehingga sejarawan Mesir Ahmad Amin mensinyalir bahwa penyematan nama Khawarij kepada mereka dikarenakan mereka memberontak kepada Ali ibn Abi Thalib.
Para ahli fikih juga menggambarkan bahwa kelompok Khawarij dari kalangan Qurra’ (penghafal al-Qur`an) menuntut Ali ibn Abi Thalib untuk menerima arbitrase dengan al-Qur`an, setelah para pendukung Muawiyah mengangkat al-Qur`an di ujung tombak saat mereka kalah perang. Dalam tuntutannya para Qurra` itu berkata, “Hai Ali, kabulkan [permintaan] kaum itu [dengan berpijak] kepada Kitabullah (al-Qur`an) bila kau diminta. Kalau tidak, kami akan membunuhmu sebagaimana kami telah membunuh [Utsman] Ibn Affan. Demi Allah, kami benar-benar akan melakukannya bila engkau tidak mengabulkannya.”[2]
Para Qurra` itu meyakini bahwa agama merintahkan arbitrase dengan dalih QS. Ali Imran: 3, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian dari al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi [kebenaran].” Ali ibn Abi Thalib pun mengabulkan tuntutan mereka, dan karenanya mereka tidak seharusnya memberontak kepada Ali. Di sini terbukti kebenaran ucapan Nabi bahwa kelompok Khawarij membaca al-Qur`an tetapi tidak melebihi tenggorokan mereka, padahal mereka dikenal sebagai sebagai orang-orang yang taat beribadah.
Orang-orang Khawarij memaksa Ali untuk menerima arbitrase. Mereka lalu memintanya memilih Abu Musa al-Asy’ari untuk mewakilinya, padahal Ali sendiri lebih menghendaki Abdullah ibn Abbas. Mereka bilang, “Ia (Ibn Abbas) adalah bagian darimu (keluargamu).” Mereka juga menolak Ali memilih al-Asytar. Mereka menuntut Ali untuk memilih sosok sahabat yang tidak memihak kepada Ali atau Muawiyah. Arbitrase itu menghasilkan kesepakatan yang mengandung kerelaan dari kedua belah pihak untuk kembali kepada al-Qur`an sebagai penengah, dan juga kepada sunnah Nabi, dan bahwa siapapun yang melanggar kesepakan tersebut akan dikenakan sanksi, dan bahwa selanjutnya akan dilakukan perundingan dan keputusan dari perundingan itu akan dibacakan pada bulan Ramadhan.[3]
Kesepakatan tersebut menjadi titik awal munculnya pemberontakan terhadap Ali ibn Abi Thalib. Ketika al-Asy’ats mengumumkannya, banyak orang yang menentangnya. Orang pertama yang memberontak adalah Urwah ibn Adiyah yang terkenal dengan ucapannya yang mengiringi rangkaian peristiwa ekstrimisme dan terorisme hingga saat ini, “Apakah kalian memberlakukan hukum manusia dalam perkara Allah? Tidak ada hukum selain Allah.”[4]
Setelah mereka memaksa Ali untuk menerima arbitrase dan menandatangani kesepakatan, mereka lalu memaksanya membatalkan kesepakatan tersebut dan memintanya untuk bertaubat, “Bertaubatlah atas kesalahanmu, tinggalkan kesepakatan itu, dan pergilah bersama kami untuk memerangi musuh-musuh kita sampai kita bertemu dengan Tuhan kita.” Ali berkata, “Aku ingin kalian tunduk pada kesepakatan itu, tetapi kalian malah menentangku. Kita telah membuat kesepakatan antara kita (Ali dan kelompoknya) dan mereka (Muawiyah dan kelompoknya) dengan syarat-syaratnya. Kita terikat perjanjian dengan mereka. Allah berfirman, ‘Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji,’ [QS. al-Nahl: 91].” Mereka memutuskan untuk untuk memberontak kepada Ali dan menuduhnya kafir. Mereka lalu pergi ke Kufah dan membaiat (sumpah setia) Abdullah ibn Wahb al-Rasibi sebagai pimpinan mereka. Di dalam pidatonya, setelah dibaiat, Abdullah ibn Wahb al-Rasibi menjelaskan mengenai dasar-dasar pemikiran ekstrimisme, pengkafiran masyarakat yang tak sepaham, perlunya hijrah dan pembentukan masyarakat alternatif.[5]
Berbagai pidato yang disampaikan para pemimpin Khawarij seakan memberikan petunjuk jalan bagi pengkafiran dan perang terhadap masyarakat Muslim khususnya dan masyarakat secara keseluruhan. Harkus ibn Zuhair al-Sa’di berkata di dalam pidatonya, “Kesenangan dunia ini sangat sedikit, dan pemisahan dengannya sangat dekat. Jangan biarkan perhiasan atau kesenangannya menguasai kalian, jangan sampai membuat kalian berpaling dari penegakan kebenaran dan pengingkaran terhadap ketidakadilan, ‘Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan,’ [QS. al-Nahl: 128].” Zaid ibn Hashn al-Tha’i memerintahkan kaum Khawarij untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad dengan landasan ayat-ayat al-Qur`an, “Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” [QS. al-Ma’idah: 44] dan “Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik,” [QS. Al-Ma’idah: 47].[6]
Mereka menyerang para pendukung Ali karena dianggap mengikuti hawa hafsu dan mengabaikan hukum al-Qur`an. Menurut mereka, jihad yang mereka lakukan adalah hak bagi orang-orang mukmin. Mereka pun mengajak dan memprovokasi umat Muslim yang lain untuk memerangi Ali dan para pendukungnya. Abdullah ibn Sakhbarah, salah seorang pembesar dari mereka berkata dengan lantang, “Tikamlah wajah dan kening mereka dengan pedang sampai Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ditaati. Jika kalian berhasil (menang), maka taatilah Allah sebagaimana yang kalian kehendaki, niscaya Dia akan memberikan kalian pahala orang-orang yang taat dan menjalankan perintah-Nya. Jika kalian gagal (kalah), maka tidak ada yang lebih utama daripada ridha Allah dan surga-Nya.”[7]
Pembunuhan Abdullah ibn Khabbab
Kisah pembunuhan Abdullah ibn Khabbab oleh orang-orang Khawarij menjadi contoh sangat jelas dari tindakan terorisme dan ekstremisme yang tidak diterima oleh agama. Abdullah ibn Khabbab, yang berjalan di suatu daerah di dekat Nahrawan bersama istrinya yang sedang hamil, beberapa perempuan dan beberapa budak, bertemu dengan sekelompok orang Khawarij yang saat itu menduduki wilayah Nahrawan. Saat itu Abdullah ibn Khabbab memegang al-Qur`an di atas dadanya. Mereka menghardiknya dan menangkapnya dalam sebuah adegan yang tidak jauh beda dengan apa yang dipraktikkan oleh ISIS dan kelompok-kelompok teroris lain saat ini. Di dalam kitab “al-Kâmil fî al-Târîkh” Ibn al-Atsir menceritakan insiden kriminal yang tidak manusiawi ini.
Ketika rombongan Khawarij datang dari Basrah hingga mendekati Nahrawan, sebagian dari mereka melihat seorang laki-laki menuntun keledai yang membawa seorang perempuan. Mereka menghentikan laki-laki itu dan bertanya, “Siapa engkau?” “Aku Abdullah ibn Khabbab sahabat Rasulullah,” jawab laki-laki itu. Mereka bertanya lagi, “Apa kami membuatmu takut?” Ia menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Tidak usah takut, ceritakan hadits dari ayahmu yang engkau dengar dari Rasulullah yang dapat bermanfaat bagi kami!” Abdullah berkata, “Ayahku menceritakan padaku, bahwa Rasulullah bersabda, ‘Akan terjadi suatu fitnah di mana hati seseorang sudah mati sebagaimana matinya tubuhnya. Sore hari ia seorang mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Pagi hari ia kafir, lalu sorenya ia mukmin.”[8]
Rombongan Khawarij itu lalu bertanya, “Dengan hadits ini aku ingin bertanya kepadamu, apa pendapatmu tentang Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar ibn al-Khatthab?” Abdullah ibn Khabbab memuji keduanya. Mereka bertanya lagi, “Apa pendapatmu tentang masa kekhalifahan Utsman di masa awal dan akhirnya?” “Masa kekhalifahan Utsman adalah haqq (kebenaran) dari awal sampai akhir,” jawab Abdullah. “Bagaimana dengan masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib sebelum tahkîm (arbitrase) dan setelahnya?” Tanpa ragu Abdullah menjawab, “Ali lebih mengenal Allah daripada kalian, lebih menjaga agama-Nya, dan lebih tajam pandangannya.” Mendengar jawaban Abdullah ibn Khabbab, pemuka Khawarij sangat marah dan dengan sangat dingin berkata, “Engkau mengikuti hawa nafsumu. Mengikuti pemimpin hanya berdasarkan kebesaran namanya, bukan perbuatannya. Demi Allah kami akan membunuhmu dengan cara yang tidak pernah kami lakukan kepada siapapun!” Mereka lalu mengikat kedua tangannya, begitu juga istrinya yang sedang hamil tua.[9]
Seorang dari mereka menemukan satu biji kurma yang telah jatuh ke tanah dari pohonnya, ia kemudian memungut kurma itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka sebagian dari mereka berkata kepadanya, “Itu adalah kurma milik orang kafir mu’âhad (warga kafir yang mendapat jaminan keamanan dari umat Muslim), maka dengan apa kamu menghalalkannya untuk memakannya?” Maka orang tersebut segera memuntahkan kurma itu dari mulutnya. Kemudian seorang dari mereka melihat seekor babi lewat di hadapannya, ia pun menghalaunya dengan pedangnya, maka sebagian dari mereka berkata kepadanya, “Itu adalah babi milik kafir mu’âhad, dengan apa kamu menghalalkannya untuk membunuhnya?”[10]
Melihat perbuatan mereka itu, Abdullah ibn Khabbab berkata, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu keharaman yang lebih besar dari apa yang kalian hindari itu?” Mereka menjawab, “Ya, tunjukkan apa itu.” Abdullah berkata, “Aku lebih haram untuk kalian ganggu dari semua itu.” Mendengar jawaban Abdullah ibn Khabbab, mereka langsung mendorongnya ke arah sungai dan menebas lehernya, mayatnya mereka lemparkan ke sungai dan dibawa arus sampai hilang. Mereka juga membunuh istrinya yang hamil tua, membelah perutnya, mengeluarkan janinnya dan mencincangnya. Setelah itu mereka membunuh beberapa perempuan dan budak yang menyertai Abdullah ibn Khabbab.[11]
Peristiwa ini terjadi pada tahun 37 Hijriah. Atas peristiwa tak manusiawi yang dilakukan kelompok Khawarij ini, Ali ibn Abi Thalib mengirimkan pasukan untuk memerangi mereka di Nahrawan. Mereka berhasil dihancurkan, dan tidak ada yang selamat kecuali sebagian kecil yang berhasil melarikan diri.