Yang menarik, dalam konteks Indonesia (dan saya melihat tren serupa di negeri-negeri lain pula), ada semacam korelasi antara wawasan keagamaan yang menghargai kultur lokal dengan sikap toleransi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda, terutama kaum minoritas. Golongan-golongan Islam yang intoleran terhadap kelompok minoritas, secara de facto, juga memiliki sikap tidak bersahabat terhadap kultur lokal.
Sebaliknya, kalangan yang mampu menoleransi kultur lokal biasanya juga memiliki sikap toleran terhadap kelompok minoritas. Jika kita telaah lanskap Islam Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, tampak sekali bahwa suara yang paling lantang membela minoritas di Indonesia umumnya datang dari tokoh-tokoh nahdliyyin (dan, tentu, saja Muhammadiyah; saya langsung terpikir tentang sosok Muhammad Najib Burhani, pemikir Muhammadiyah yang menulis buku “Menemani Minoritas”). Begitu juga, suara yang menekankan pentingnya penghargaan terhadap kebhinnekaan, umumnya juga berasal dari kalangan nahdliyyin. Sekali lagi, anak-anak cucu al-Ghazali lah yang paling antusias mengusung gagasan pribumisasi Islam yang kemudian juga berkorelasi dengan sikap menghargai minoritas.
*
Dalam sektor politik, gagasan dan tindakan para anak-cucu al-Ghazali juga tak kalah mengesankan bagi saya. Ketika muncul gerakan yang menuntut formalisasi syariat Islam di Indonesia pada tahun-tahun awal era reformasi, suara yang keras menentang ide ini, sekali lagi, datang dari kalangan nahdliyyin. Kiai Hasyim Muzadi dan Kiai Said Aqil Siradj, dan diukung oleh kiai, tokoh, dan intelektual NU yang lain, secara konsisten selalu menyuarakan ketidak-setujuan terhadap formalisasi syariat. Kiai Afifuddin Muhajir, misalnya, melontarkan gagasan yang menarik: syariat Islam tidak bisa dilaksakanan di Indonesia tanpa melalui proses “taqnin” atau legislasi atau pengundangan oleh parlemen. Sebab Indonesia bukanlah negara Islam. Hanya karena syariat Islam dianggap sebagai hukum yang sakral oleh umat Islam, tidak otomatis ia bisa diterapkan begitu saja. Ia harus melalui proses legislasi, “taqnin”. Bagi saya, seorang kiai “pondokan” bisa berpikir seperti ini, jelas amat mengesankan. Ini bukan kiai lulusa Amerika atau Eropa. Ini kiai “ndeso”. “Ulama kota” belum tentu berani berpikir sejauh ini!
Dalam sepuluh tahun terakhi ini, terjadi diskusi yang menarik di kalangan kiai, santri, dan para pemikir NU tentang pentingnya merumuskan kembali “fiqh siyasah” (fiqh kenegaraah, fiqh politik) agar sesuai dengan konteks Indonesia — apa yang oleh santri-santri Pondok Lirboyo, Kediri, disebut “fiqh kebangsaan.” Saya amat suka dengan istilah ini: fiqh al-wathaniyyah, fiqh kebangsaan. Dalam fiqh semacam ini, dirumuskan sejumlah gagasan yang menarik. Sebagai catatan selingan: munculnya fiqh semacam ini menandakan bahwa fiqh tidak bersifat “jumud” atau stagnan, sebagaimana disangka oleh sebagian kalangan selama ini. Fiqh memang bisa saja jumud, bahkan “radikal” seperti fiqh dalam gagasan kaum jihadis atau kelompok-kelompok muslim revivalis. Tetapi fiqh juga bisa menjadi pengetahuan yang dinamis di tangan anak-anak cucu al-Ghazali, seperti dalam contoh Kiai Afif itu.
Salah satu gagasan baru yang muncul dari fiqh baru ini ialah memahami kembali istilah “kafir”. Istilah “kafir”, dalam wawasan fiqh kebangsaan itu, seharusnya tidak dipakai untuk menyebut warga negara non-Muslim. Dalam konteks kebangsaan, bukan dalam konteks akidah dan agama, semua orang yang tinggal di Indonesia sudah selayaknya disebut “warga negara” sahaja, bukan seorang “kafir” atau sebutan-sebutan sektarian lain. Gagasan fiqh kebangsaan semacam ini jelas amat penting dalam kerangka membangun negara modern. Dalam sebuah negara modern, semua penduduk dipandang sebagai “warga negara” (citizen, muwathin), dengan hak-hak konstitusional yang sama, tanpa melihat latar agama atau sektenya. Dalam konteks kebangsaan, tidak ada lagi label “kafir” atau “muslim”; yang ada adalah “warga negara”. Dengan fiqh kebangsaan semacam ini, diam-diam para kiai NU sudah memasuki “filsafat politik” yang amat krusial — mereka diam-diam telah merumuskan teor “citizenship” atau kewarganegaraan baru berdasarkan tradisi mereka. Dalam tradisi ini, tentu saja ada unsur-unsur yang berasal dari ajaran al-Ghazali.
Dua kiai NU layak disebut dalam konteks perumusan fiqh baru di bidang politik ini, yaitu Kiai Masdar F. Mas’udi dan Afifuddin Muhajir. Kiai Afif adalah seorang ‘alim dalam bidang ushul fiqh. Ia adalah guru dari pemikir NU muda yang cemerlang: Abdul Mosith Ghazali. Ia mengajar di Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Asembagus, Situbondo. Ia telah menulis karya yang amat penting: “Fiqh Tata Negara” (2017). Sementara itu, Kiai Masdar, seorang pemikir dari generasi sebelum Kiai Afif, juga menulis karya yang tak kalah penting: “Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam” (2010). Dua buku ini, di mata saya, merupakan sumbangan besar dari anak-anak cucu al-Ghazali di Indonesia untuk merumuskan gagasan kenegaraan baru yang sesuai dengan realitas di Indonesia dan “kemoderenan” (ini istilah yang saya pinjam dari Cak Nur). Gagasan kenegaraan mereka ini jauh lebih masuk akal dan maju daripada gagasan kenegaraan yang dimiliki kalangan Muslim revivalis atau salafis — kelompok yang umumnya mewarisi pikiran-pikiran Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M) ketimbang al-Ghazali.
Salah satu momen penting yang harus terus diingat, karena ia memiliki “makna teologis” yang besar dalam memaknai ulang gagasan fiqh siyasah tradisional, adalah langkah berani yang pernah diambil oleh seorang Kiai Ahmad Ishomuddin,, seorang kiai lulusan Pondok Langitan, Tuban, dan salah satu Rais Syuriyah PBNU dalam periode kepengurusan sekarang. Pada 2017, ia memberikan kesaksian bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat yang terakhir ini diadili dengan tuduhan penodaan agama. Kiai Ishom memberikan kesaksian yang meringankan: bahwa apa yang dilakukan oleh Ahok tidak masuk dalam kategori penodaan. Di saat banyak kalangan Islam (umumnya non-NU) menghujat Ahok, seorang kiai NU berani tampil dengan pendapat yang berseberangan.
Apa yang dilakukan oleh Kiai Ishom, seorang santri yang sudah pasti pernah ngaji kitab Ihya’ karya al-Ghazali, tidak bisa dipaham kecuali dalam konteks fiqh kebangsaan baru yang sudah sejak lama didiskusikan oleh santri, aktivis, dan intelektual NU sejak beberapa tahun yang lalu. Pengaruh gagasan “pribumisasi” Gus Dur, ide kontesktualisasi Kitab Kuning dari Masdar F. Mas’udi, dan pentingnya “fiqh maqashidi” (fiqh yang berbasis pada teori “maqashid” atau tujuan-tujuan utama syariat) yang digaungkan oleh Kiai Afifuddin Muhajir — semuanya itu bermuara pada tindakan Kiai Ishom tersebut. Sebab, kesaksian Kiai Ishom yang membela Ahok ini bukanlah “a random move”, tindakan asal-asalan yang muncul ujug-ujug begitu saja. Ada “konteks kultural” yang melatarinya.
Pertanyaannya: Kenapa yang berani melakukan tindakan-tindakn seperti ini adalah anak-ana cucu al-Ghazali yang dituduh sebagai “biang” kemunduran Islam itu? Kenapa bukan tokoh-tokoh Islam dari kelompok lain? Jika benar al-Ghazali dan al-Asy’ari menjadi sumber kemunduran Islam, kenapa anak-anak cucu mereka justru paling depan dalam mengusung ide-ide fiqh kebangsaan yang sangat maju dalam konteks negara modern? Sebaliknya: Kenapa ide-ide konservatif dalam aspek kebangsaan justru umumnya datang dari kelompok-kelompok tidak pernah mengkaji pikiran-pikiran al-Ghazali, atau malah mungkin memusuhinya? Kenapa?
Sebelum melontarkan tuduhan terhadap al-Ghazali semacam itu, anda harus melihat fakta empiris di lapangan seperti yang saya bentangkan di atas. Secara de facto, dalam konteks Indonesia, anak-anak cucu al-Ghazali lah yang justru paling maju dalam isu-isu kebudayaan dan politik kebangsaan. Konservatisme justru datang dari kelompok-kelompok yang tidak “ngaji” ajaran-ajaran al-Ghazali. Think about it!
Sekian.
Ulil Abshar-Abdalla