Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas resmi menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara (toa) di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Namun SE itu berbuntut polemik dan kegaduhan. Banyak pengamat menilai seharusnya SE itu tidak hanya untuk masjid dan musala saja, tetapi juga tempat ibadah agama-agama lain. Polemik itu makin panas, setelah Menag Yaqut membandingkan antara suara-suara di Masjid dengan suara gonggongan anjing.
Sebenarnya, surat edaran itu dibuat Menag didasarkan atas keinginan terjalinya harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia yang majemuk, Islam sebagai agama mayoritas juga harus memperhatikan kenyamanan penduduk lain terkait dengan suara-suara di tempat ibadah. Namun dengan statemen perbandingan yang dinilai kurang pas akhirnya menjadi ramai dan gaduh.
Gus Yaqut awalnya menjelaskan dirinya tidak melarang penggunaan pengeras suara oleh masjid ataupun musala. Menurutnya, pemerintah hanya mengatur besar volume. Dia meminta volume pengeras suara diatur maksimal 100 desibel (dB). Selain itu, waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan. Hal itu dimaksudkan semata-mata semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan.
Menag menilai suara-suara dari masjid selama ini merupakan bentuk syiar. Namun, dia menilai suara dari masjid bisa menimbulkan gangguan jika dinyalakan dalam waktu bersamaan. Dia kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya ialah gonggongan anjing.
Jangan Hanya Untuk Masjid dan Musala Saja
Aturan itu langsung menuai kritik. Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Indonesia, TGB HM Zainul Majdi menilai kalau dibuat aturan toa seharusnya tidak hanya untuk masjid dan musala saja. Menurut TGB, salah satu kaidah paling mendasar di dalam membuat suatu kebijakan publik itu adalah imparsialitas. Artinya rata, seimbang, adil, tidak memihak. Karena itu kalau ingin menciptakan pengaturan maka seharusnya yang diatur itu bukan hanya masjid dan musala.
Ketua Umum PB Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyah (NWDI) ini menjelaskan, pengeras suara tak hanya digunakan di musala dan masjid. Pengeras suara juga dipakai di tempat ibadah yang lain. Yang pasti ada momen-momen di mana acara ritual keagamaan itu juga mengeluarkan suara yang cukup besar.
Hal ini penting agar tidak kemudian menciptakan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensial mengganggu ketenangan atau ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala saja. Sementara, rumah ibadah non Islam itu juga mengeluarkan suara kidung-kidung, lagu-lagu pujian, dan lagu-lagu keagamaan.
Masih kata TGB, di banyak tempat di Indonesia ini, sesungguhnya masjid itu tidak hanya tempat berkumpul untuk salat. Pengeras suara masjid itu juga tidak hanya digunakan untuk azan dan iqamat saja, tapi rata-rata masyarakat juga menggunakannya di masjid untuk kegiatan lainnya seperti untuk mengumumkan ada kematian kemudian kalau ada kegiatan gotong royong, dan ada kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Selain itu, pengeras suara masjid atau musala juga memiliki fungsi sosial budaya. Di banyak daerah pengeras suara masjid itu bukan mengganggu, tapi justru menjadi rujukan dari masyarakat di desa.
TGB berpendapat pengaturan ini lebih baik diserahkan kepada kearifan bersama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Misalnya, untuk daerah-daerah tertentu yang masyarakatnya sangat heterogen, pengeras suaranya perlu diatur.
Bahkan di NTB, yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, suara dari masjid sangat dirindukan. Suara itu justru menjadi penyejuk dan tidak ada yang merasa terganggu. Kendati demikian, TGB yakin Menag memiliki niat baik untuk membuat regulasi tersebut. Apalagai,Menag merupakan seorang tokoh dari organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.
Senada dengan TGB, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengingatkan pemerintah agar tak perlu membuat aturan yang tidak perlu. Menurutnya, di kampong selain menjadi syiar agama, toa alias sepiker masjid atau musala bisa menjadi hiburan. Dia pun meminta agar aturan soal pengeras suara segera dicabut.
Ia menegaskah bahwa keberadaan toa di masjid dan musala merupakan kearifan lokal setiap wilayah. Karena itu, pemerintah mestinya tak perlu ikut campur.