Islamina.id – Di era globalisasi ini, penempatan peranan agama semakin berkembang dan bertambah eksis di berbagai ranah kehidupan terutama di ruang-ruang publik didukung peranan media sosial yang sangat masif. Agama tak berdiri sendiri namun akan selalu berkaitan dengan hal lain seperti ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Dari sini, kajian mengenai agama perlu mendapatkan perhatian besar di masa mendatang.
Bila dikaji dan ditelusuri secara mendalam, gerakan Islamisme ini sebetulnya sejalan dengan gerakan revivalisme yang menghendaki adanya kebangkitan dalam Islam yang digagas dan dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang berkembang dan masuk di Indonesia pada penghujung abad ke 19 dan di awal abad 20.
Sebagaimana terjadi di negara-negara lain, islamisme di Indonesia muncul pertama kali sebagai bentuk gerakan untuk mengakomodir aspirasi keislaman. Di era kolonial misalnya, para tokoh Islam sangat menentang keras jika terjadi kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi ajaran Islam.
Baca juga: Melawan Ekstremisme dengan Sufisme
Seperti gerakan westernized Indonesia, memberikan tanah jajahan kepada ahli waris yang berpendidikan Barat, memberikan batasan atau pengekangan terhadap orang Islam Indonesia, menanamkan anggapan bahwa agama untuk akhirat dan pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum (Benda, 1980).
Namun pasca kemerdekaan, berbarengan dengan berkembangnya organisasi Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang didirikan oleh Hasan al-Banna (1906-1949) dan Jami’at al-Islami yang didirikan oleh Abul A’la al-Maududi (1903-1978) di Indo-Pakistan. Gerakan islamisme di Indonesia memiliki kesepakatan dengan dua gerakan ini untuk menyerukan secara massif atas pentingnya revolusi Islam.
Spirit tersebut terus mengilhami lahirnya gerakan-gerakan sosial politik seperti DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia) pada tahun 1967. Organisasi ini merupakan tempat pelarian para tokoh Masyumi karena mengalami kegagalan berkiprah pada kancah politik. Melalui DDII ini pemikiran para ideolog pendiri Ikhwanul Muslimin, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Sayyid Hawa, dan Mustafa as-Siba’i masuk ke Indonesia.
Selanjutnya, DII memainkan model dakwah baru dengan menyasar pada masjid-masjid kampus. Wal hasil, model dakwah ini berhasil merekrut kader mahasiswa dari berbagai kampus-kampus terkenal seperti ITB. Berbarengan dengan tren ini, gerakan islamisme lainnya seperti Hizbut Tahrir yang didirikan di Palestina pada 1953 oleh Taqiyy al-Din an-Nabhani juga ikut meramaikan kegiatan keislaman kampus (Ahnaf, 2011).
Gerakan Hizbut Tahrir
Gerakan Hizbut Tahrir terus disosialisasikan di beberapa kampus ternama di Indonesia dan berhasil melakukan rekrutmen sehingga pada saat Soeharto jatuh (1998), kelompok ini memproklamirkan diri sebagai organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang beberapa tahun silam dibekukan oleh pemerintah.