Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) dalam berdakwah pun juga tidak menghilangkan makna kekeramatan dan kesucian kota Tajug. Sunan Kudus amatlah bijaksana dalam melakukan dakwahnya di antaranya adalah beliau dapat menyiarkan agama Islam dengan adaptasi di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Hindu-Budha dengan cara dakwahnya yang tidak menghilangkan adat istiadat masyarakat setempat.
Hal itu juga terjadi pada penamaan kota Kudus yang tidaklah jauh dari nama sebelumnya, Tajug sebagai tempat ibadah orang Hindu dan memiliki kekeramatan. Dengan demikian kota ini dianggap suci oleh masyarakat setempat, sunan Kudus pun dalam mengganti nama kota ini tak jauh berbeda hanya berganti nama yang diambil dari Arab Al-Quds tidak lain makanannya adalah suci.
Tidak hanya dalam mengganti nama sebuah kota sunan Kudus juga mengutamakan Tepa Salira, masyarakat Hindu memiliki sebuah keyakinan pada hewan sapi yang dianggap sebagai hewan suci bagi umat Hindu, sebagai bentuk penghormatan sunan Kudus melarang umat muslim untuk menyembelih sapi, sampai sekarang ajaran-ajaran sunan Kudus masih dilestarikan.
Kota Kudus menjadi sebuah kota sejuta Tepa salira masyarakat yang hidup di kota tersebut hidup rukun walaupun berbeda keyakinan. Masyarakat hidup dengan mengutamakan saling menghormati adalah pokok dalam menjalani hidup, nilai-nilai Tepa salira lah membuat kehidupan manusia menjadi lebih indah dan harmonis.
Baca Juga: Cara Wali Songo Mendakwahkan Islam di Nusantara
Referensi:
-Mas’udi, “Genealogi Walisongo : Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal ADDIN Vol. 8, No.2.
-https://www.parist.id/2019/10/tepo-seliro-ajaran-toleransi-sunan-kudus.html