Dalam hal ini, pesantren merupakan percontohan nyata dalam menjalankan toleransi, karena pesantren yang dari dulu telah menerapkan kurikulum fiqih di dalamnya tidak hanya berhasil mentransfer keilmuan, namun juga telah berhasil mentransfer adab dan perilaku yang baik bagi santrinya, seperti yang telah dituturkan di atas bahwa sumber inti dari perbedaan antara ulama adalah Alquran dan Sunnah. Alquran adalah hidangan Allah, tentu saja hidangan dari Tuhan yang Maha Kaya itu beraneka ragam. Tuhan yang Maha Pemurah itu mempersilahkan kita untuk mengambil apa yang telah kita kehendaki ketika sudah memenuhi syarat mujtahid.
Namun, tentunya kita harus mengetahui batas-batas toleransi dengan jelas misalnya para ulama mazhab fiqih diatas memang berbeda-beda pendapat dalam masalah furu’ namun dari ulama mazhab tidak ada yang berbeda pendapat di dalam masalah asl. Seperti misalnya hukum sholat lima waktu itu wajib bagi semua umat Muslim. Dalam pendapat asl ini, semua Imam satu suara dan menyatakan dengan jelas tidak ada perbedaan dalam masalah asl tersebut. Contoh yang kedua adalah soal keimanan yang telah dicontohkan dalam Alquran surat al-Kafirun yang berbunyi:
لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. [Surat al-Kafirun: 6]”
Ayat diatas dengan tegas menjelaskan tidak adanya toleransi dalam hal beragama. Asbabun nuzul ayat ini sendiri juga disebabkan Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, dan Aswad bin Abdul Muthalib yang menawarkan persekutuan di dalam hal agama, dengan cara orang kafir akan menyembah apa yang disembah oleh Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah juga harus menyembah apa yang orang kafir sembah secara bergantian.
Baca Juga: Muslim Masuk Gereja, Bolehkah ? Bagaimana Hukumnya ?