Beliau mulai menggerakkan tangan untuk mengambil pena, lagi-lagi beliau mengurungkan, padahal orang-orang yang mengenal betul Syekh Mulla sudah mendukung penuh inisiatif putranya.
Namun, pena itu akhirnya benar-benar disentuh, karena ingatan Syekh Muhammad Said al-Buthy, tentang cerita ayahnya, cerita kesedihannya dan kekecewaannya, cerita guru-guru ayahanda yang mengesankan, penuh tauladan, terabaikan, tidak tertulis, dan akhirnya terlupa.
Syekh bahagia, ada satu alasan untuk menggerakkan pena, ada alasan untuk mengobati kebimbangannya, menulis cerita keseharian salah satu orang saleh itu, bukankah ayahanda beliau juga termasuk orang saleh, beliau menulis ayahandanya agar cerita-cerita penuh keteladanan tidak terlupakan sebagaimana cerita ayahanda tentang guru-gurunya.
Beliau menulis ayahandanya, bukan sebagai ayahanda, namun sebagai salah satu orang saleh. Itulah yang membuat beliau kokoh menulis.
Setelah memiliki keyakinan cukup, beliau meminta petuah, seluruh tokoh berpengaruh di Suriah menyambut niat baik syekh Muhammad Said, apalagi catatan itu untuk tokoh yang memang saleh.
Syekh Muhammad Said semakin bersemangat menulis, hingga pada akhirnya beliau menyudahi kebimbangan beliau dengan meniru laku pribadi Nabi SAW, beliau beistikharah, berdoa, meminta bimbingan dan keridaan-Nya untuk niat baik beliau. Anda tahu apa yang terjadi? Catatan beliau tentang ayah beliau, menggugah sekali, seluruhnya berbahagia dengan hadirnya tulisan beliau, hingga Syekh Muhammad Said berkata, buku ini adalah karya saya yang paling banyak dibaca, semuanya karena yang saya tulis adalah ayahku.