Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 59 yang artinya : “Wahai Nabi ! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. ”.
Hampir seluruh ulama menjadikan ayat ini sumber utama dalam kewajiban memakai jilbab. Ayat tersebut mengandung unsur perintah di mana perintah Tuhan adalah unsur utama dan paling kuat di balik wajibnya menjalankan syariat terkhususnya bagi wanita yang diwajibkan menutup aurat dengan jilbab. Bisa dikatakan bahwa seluruh ulama telah sepakat bahwa memakai j i l b a b hukumnya wajib’ain bagi setiap wanita yang sudah aqil baligh sesuai penjelasan diatas.
Dalam kitab Taqrib, Syeikh Abu Syuja’ berpendapat sama dengan sebagian besar pengikut Syafi’iyah dan Hanbaliyah bahwa aurat wanita di depan lelaki yang bukan mahramnya adalah seluruh tubuh tanpa terkecuali, hal itu di bantah oleh Imam Nawawi dan juga Zainuddin Al-Malibary dalam Fathul Mu’in-nya. Beliau berdua berpendapat bahwa aurat wanita di depan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat Imam Nawawi dan Mbah Zainuddin ini sama persis dengan pendapat kebanyakan ulama Hanafiyah dan Malikiyah.
Intinya j i l b a b sudah dikenal dan dianggap baik jauh sebelum Islam. Islam menetapkan hukum memakai jilbab ialah fardhu ’ain bagi wanita yang sudah aqil baligh. Memang harus diakui bahwa pakaian tidak dapat menciptakan kepribadian seseorang. Pakaian juga tak menjamin pemakainya lebih baik dalam berperilaku atau hal yang lain.
Baca Juga: Hijab Bukan Kewajiban Islam